Kita hidup di zaman ketika film animasi lokal bisa mengalahkan sinetron abadi jam 7 malam, dan pelakunya bukan tokoh superhero, bukan pula anak dari kerajaan siluman harimau, melainkan seekor gajah bernama Don. Ya, Don adalah bintang utama dari film Jumbo (2025), yang kini resmi menjadi film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa. Dengan lebih dari 6 juta penonton, Jumbo bukan hanya sukses di box office, tapi juga sukses memicu tisu ludes di warung depan bioskop.
Film ini mengangkat kisah klasik yang sayangnya masih aktual: bullying. Tapi tenang, ini bukan kisah sedih yang hanya bikin dahi berkerut dan hati mengkerut. Jumbo mengemas isu serius itu dengan cara yang lucu, hangat, dan tetap menyentil. Jadi meskipun Anda tertawa, jangan kaget kalau di tengah cerita tiba-tiba air mata meleleh seperti es krim jatuh di aspal Bekasi siang hari.
Jumbo: Film yang Gendut di Box Office
Sejak dirilis awal tahun ini, Jumbo langsung lari kencang di bioskop-bioskop tanah air. Data dari Lembaga Sensor Film menunjukkan bahwa per 1 Mei 2025, film ini sudah ditonton lebih dari 6 juta orang. Kalau semua penonton berdiri berjajar, bisa bikin jalan tol dari Merak sampai Merauke. Lebih dari itu, Jumbo mengalahkan beberapa film populer lokal sebelumnya, seperti Kiko In the Deep Sea dan Nussa, yang sebelumnya juga mendapat sambutan hangat.
Sutradara film ini, Denny Santoso---yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pembuat iklan snack anak-anak---mengatakan bahwa ide Jumbo muncul dari pengalaman masa kecilnya yang selalu disebut "tumbuh subur" oleh tetangga. Ia ingin mengangkat kisah tentang penerimaan diri dengan cara yang tidak menggurui, tapi menggelitik.
Don, Gajah yang Bukan Sembarangan
Don, tokoh utama Jumbo, adalah seekor gajah muda yang ingin bermain kasti, makan donat, dan punya teman sejati---ya, seperti harapan kita semua. Tapi sayangnya, tubuh besarnya justru jadi bahan olok-olok teman-temannya. "Gendut tuh susah lari, nanti bolanya penyok," kata salah satu karakter di film. Tapi jangan salah sangka, ini bukan sekadar humor receh. Ini adalah representasi dari perundungan yang jamak terjadi di kehidupan nyata, terutama di lingkungan sekolah.
Adegan Don diejek teman sebayanya lalu diam-diam menyendiri di belakang kantin sekolah, mungkin akan membuat Anda teringat masa-masa sekolah dulu---baik sebagai korban, pelaku, atau penonton pasif yang cuma bisik-bisik sambil makan cilok.
Bullying: Masih Jadi Tren Tak Sehat
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan tren bullying di sekolah Indonesia mengalami peningkatan. Dari hanya 91 kasus pada tahun 2020, angka ini meroket jadi 573 kasus pada 2024. Dan itu baru yang tercatat, lho! Belum termasuk kasus-kasus yang tersembunyi di balik dalih "cuma bercanda, kok." Ya, di negeri ini, terkadang ejekan dianggap sebagai bumbu persahabatan. Padahal, kalau kebanyakan bumbu, bisa bikin darah tinggi.
Fenomena ini bukan cuma terjadi di sekolah dasar. Di lingkungan pendidikan tinggi, seperti pada kasus calon dokter spesialis yang sempat viral, bullying juga terjadi dengan gaya lebih halus tapi menyakitkan: silent treatment, body shaming berbalut jargon medis, hingga senioritas yang terlalu serius.
Fiksi yang Bukan Sekadar Hiburan
Menurut pengamat budaya populer, Dr. Ratna Kusumaningrum (yang sering juga jadi narasumber di podcast gosip kampus), film seperti Jumbo bisa menjadi jembatan pemahaman antara dunia anak dan orang dewasa. Namun, ia juga mengingatkan bahwa karya fiksi seperti ini bisa membentuk persepsi palsu bila tak dikritisi dengan bijak.
"Kalau kita terlalu larut, kita bisa berpikir semua korban bullying pasti akan bangkit dan sukses, padahal dunia nyata lebih kejam dari skrip film," ujar Dr. Ratna sambil menyeruput kopi susu di sela-sela wawancara.
Ia juga menambahkan soal efek "bystander"---fenomena ketika orang-orang di sekitar kejadian bullying memilih diam karena takut atau merasa bukan urusannya. Dalam film Jumbo, Don beruntung punya satu-dua teman yang membelanya. Tapi di dunia nyata, banyak Don lain yang harus menghadapi semuanya sendirian.
Siapa yang Bisa Menolong Don di Dunia Nyata?
Nah, ini pertanyaannya: Who? Siapa yang bertanggung jawab? Ya, jawaban diplomatisnya: kita semua.
Pendidikan anti-bullying bukan hanya tugas guru BK yang kadang disangka petugas absent. Ini juga tugas guru olahraga, kepala sekolah, teman sebaya, bahkan warganet yang sering melihat video viral perundungan tapi hanya komen "ngenes amat". Kurikulum sekolah juga sebaiknya disisipi sesi empati dan keberagaman, bukan hanya soal rumus luas limas segi enam.
Pemerintah, melalui Kemendikbudristek, sudah mulai menyusun kebijakan sekolah ramah anak yang menekankan pada zona bebas perundungan. Tapi ya, seperti biasa, implementasinya masih setengah matang. Ada sekolah yang mengaku sudah anti-bullying, tapi toilet sekolahnya masih penuh dengan coretan menghina nama orang.
Teknologi: Si Canggih yang Bisa Jadi Bully
Zaman sudah digital, bullying pun berevolusi. Kalau dulu cuma mengejek di lapangan sekolah, sekarang bisa lewat grup WhatsApp kelas, akun anonim, atau story Instagram. Istilahnya: dari bully offline jadi cyberbully. Sayangnya, perlindungan hukum di ranah ini masih berusaha mengejar kecepatan jempol netizen.
Namun, jangan sampai perkembangan teknologi bikin kita menyerah. Justru lewat media sosial pula kita bisa kampanye soal pentingnya empati, berbagi kisah inspiratif seperti Don, dan mengedukasi dengan cara kreatif.
Penutup yang Bikin Mikir (dan Sedikit Ketawa)
Jumbo bukan hanya film untuk anak-anak. Ini adalah cermin sosial yang dibungkus animasi. Kita mungkin tertawa ketika Don jatuh gara-gara main lompat tali, tapi juga akan tersenyum haru ketika melihat dia berdiri lagi, lebih kuat, dan dikelilingi oleh teman sejati.
Dalam hidup, kita semua pernah jadi Don, atau bahkan tak sadar pernah jadi teman-teman Don yang menyebalkan. Tapi yang terpenting adalah: apakah kita mau berubah dan belajar jadi manusia yang lebih lembut, lebih empatik, dan lebih siap menyetop perundungan?
Karena pada akhirnya, kisah Don bukan hanya miliknya. Ini adalah kisah kita semua---yang masih belajar menjadi baik, satu hari demi satu popcorn.
Jangan lupa follow untuk update info selanjutnya
Disadur oleh dseptana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI