Fiksi yang Bukan Sekadar Hiburan
Menurut pengamat budaya populer, Dr. Ratna Kusumaningrum (yang sering juga jadi narasumber di podcast gosip kampus), film seperti Jumbo bisa menjadi jembatan pemahaman antara dunia anak dan orang dewasa. Namun, ia juga mengingatkan bahwa karya fiksi seperti ini bisa membentuk persepsi palsu bila tak dikritisi dengan bijak.
"Kalau kita terlalu larut, kita bisa berpikir semua korban bullying pasti akan bangkit dan sukses, padahal dunia nyata lebih kejam dari skrip film," ujar Dr. Ratna sambil menyeruput kopi susu di sela-sela wawancara.
Ia juga menambahkan soal efek "bystander"---fenomena ketika orang-orang di sekitar kejadian bullying memilih diam karena takut atau merasa bukan urusannya. Dalam film Jumbo, Don beruntung punya satu-dua teman yang membelanya. Tapi di dunia nyata, banyak Don lain yang harus menghadapi semuanya sendirian.
Siapa yang Bisa Menolong Don di Dunia Nyata?
Nah, ini pertanyaannya: Who? Siapa yang bertanggung jawab? Ya, jawaban diplomatisnya: kita semua.
Pendidikan anti-bullying bukan hanya tugas guru BK yang kadang disangka petugas absent. Ini juga tugas guru olahraga, kepala sekolah, teman sebaya, bahkan warganet yang sering melihat video viral perundungan tapi hanya komen "ngenes amat". Kurikulum sekolah juga sebaiknya disisipi sesi empati dan keberagaman, bukan hanya soal rumus luas limas segi enam.
Pemerintah, melalui Kemendikbudristek, sudah mulai menyusun kebijakan sekolah ramah anak yang menekankan pada zona bebas perundungan. Tapi ya, seperti biasa, implementasinya masih setengah matang. Ada sekolah yang mengaku sudah anti-bullying, tapi toilet sekolahnya masih penuh dengan coretan menghina nama orang.
Teknologi: Si Canggih yang Bisa Jadi Bully
Zaman sudah digital, bullying pun berevolusi. Kalau dulu cuma mengejek di lapangan sekolah, sekarang bisa lewat grup WhatsApp kelas, akun anonim, atau story Instagram. Istilahnya: dari bully offline jadi cyberbully. Sayangnya, perlindungan hukum di ranah ini masih berusaha mengejar kecepatan jempol netizen.
Namun, jangan sampai perkembangan teknologi bikin kita menyerah. Justru lewat media sosial pula kita bisa kampanye soal pentingnya empati, berbagi kisah inspiratif seperti Don, dan mengedukasi dengan cara kreatif.