Mohon tunggu...
desynurainiyasiroh
desynurainiyasiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemikir Realis dalam Dunia Islam: Warisan Politik Al-Ghazali

9 Mei 2025   18:47 Diperbarui: 9 Mei 2025   18:47 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh: Desy Nuraini Yasiroh (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) & Syamsul Yakin (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Nama Al-Ghazali sering kali diasosiasikan dengan ilmu fikih dan tasawuf. Banyak yang mengenalnya sebagai ulama sufi yang menjauhi hiruk-pikuk dunia. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa ia juga punya peran besar dalam panggung politik Islam klasik. Ia hidup di masa ketika kekuasaan politik Islam terpecah dan saling berebut legitimasi, dan justru di situ peran Al-Ghazali begitu menentukan.

Alih-alih menghindar dari kekuasaan, Al-Ghazali justru terlibat aktif dalam memberi arah dan nasihat politik. Ia mendampingi penguasa Abbasiyah dan Saljuk dalam masa-masa sulit, bahkan membantu menyusun dasar-dasar legitimasi kekuasaan mereka. Dalam salah satu karyanya, ia menekankan bahwa agama dan negara harus berjalan beriringan. Ia mengatakan, "Agama dan pemerintahan adalah saudara kembar; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaganya. Sesuatu tanpa pondasi akan runtuh, dan pondasi tanpa penjaga akan sia-sia."

Dalam situasi politik yang tidak ideal, Al-Ghazali memilih pendekatan realistik. Ia lebih memilih membenarkan kekuasaan de facto daripada melihat umat Islam terpecah dan hidup dalam kekacauan. Pandangan ini tertuang dalam teori maslahat-nya yang menolak pemberontakan terhadap pemerintah, meskipun pemerintah itu tidak sempurna. "Kekacauan lebih berbahaya daripada tirani," tegasnya, sebuah pandangan yang mungkin terasa pragmatis, namun lahir dari kepedulian terhadap stabilitas umat.

Al-Ghazali pun menulis nasihat-nasihat untuk para pemimpin dalam karya seperti Nashihat al-Muluk. Di situ, ia menempatkan agama sebagai penuntun moral, dan negara sebagai pelaksana kebijakan. Dalam suratnya kepada para penguasa, ia sering menegaskan pentingnya keadilan, amanah, dan ketakwaan sebagai dasar kekuasaan.
"Kepemimpinan adalah amanah besar. Pemimpin yang tidak adil, lebih baik tidak memimpin sama sekali," tulisnya dalam salah satu surat yang dikumpulkan dalam Letters of Al-Ghazali.

Pemikiran Al-Ghazali menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak hanya bicara soal ibadah pribadi, tapi juga soal bagaimana mengelola negara dengan bijak. Ia memberi contoh bahwa ulama bisa ikut membantu menjaga stabilitas negara tanpa harus duduk di tampuk kekuasaan. Dengan cara yang tenang dan penuh pertimbangan, Al-Ghazali mengajarkan pentingnya menjaga kedamaian dan mencegah perpecahan. Pemikirannya jadi pengingat bahwa ilmu agama bisa berperan besar dalam menyelesaikan persoalan masyarakat secara nyata.

Dengan cara pandangnya yang realistis dan penuh pertimbangan maslahat, Al-Ghazali memberikan kontribusi unik dalam pemikiran politik Islam. Ia bukan saja menjadi penyambung antara idealisme agama dan realitas kekuasaan, tetapi juga perumus konsep harmoni antara keduanya. Maka tak berlebihan jika warisan pemikiran politik Al-Ghazali perlu terus dikaji, bahkan bisa disejajarkan dengan pemikir besar lain dari Timur dan Barat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun