Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

RIP Etika

11 September 2021   22:00 Diperbarui: 11 September 2021   22:06 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita setuju untuk memberikan kesempatan kedua bermasyarakat bagi pelaku kejahatan yang telah menjalani masa hukumannya.  Tetapi menjadi sangat tidak setuju ketika kembalinya ke masyarakat disambut bak pahlawan.  Maaf, ini bukan masalah label mantan napi yang melekat bagi pelaku kejahatan.  Tetapi ini masalah etika, atau salah dan benarnya berprilaku.

Tidak habis pikir, bagaimana mungkin Saipul Jamin yang akrab dipanggil Bang Ipul, pelaku kekerasan seksual pada anak kepulangannya dari masa hukuman disambut gegap gempita.  Ironis seolah perbuatannya dianggap pantaskah? Langsung disibukkan tampil di acara tv, dan parahnya media pun ikutan meliput?

Pernah tidak terpikir perasaan korban yang justru terbalik menjadi terhukum disini.  Faktanya Bang Ipul justru mendapatkan kembali kehidupannya.  Sedangkan korban tidak akan lagi sama menjalani kehidupannya sejak kejahatan itu terjadi.

Faktor mengerikan lainnya, glorifikasi terhadap Bang Ipul akan menimbulkan kesan normal/ wajar bagi pelaku kejahatan seksual.  Termasuk mungkin Bang Ipul sendiri yang menikmati "kemenangan" diatas luka para korban kejahatan seksual.

Bayangkan, dicopet di angkot saja bisa menimbulkan trauma.  Apalagi kejahatan seksual yang dilakukan oleh Bang Ipul terhadap anak dibawah umur.  Apakah dipikirnya akan hilang setelah "Saipul Jamin" masuk penjara?  Faktanya, hukuman penjara hanyalah sanksi fisik, tetapi luka atau trauma yang dialami korban akan tetap ada.  Ketidakadilan euphoria penyambutan Bang Ipul akan menghambat pemulihan trauma.

Adapun istilah cancel culture menyeruak merujuk pada gagasan untuk "membatalkan" seseorang dengan arti memboikot atau menghilangkan pengaruh orang.  Belakangan, selain Bang Ipul tindakan boikot juga dilakukan masyarakat terhada Ayu Ting Ting.  Penyebabnya karena netizen tidak suka dengan prilaku Ayu yang dinilai netizen angkuh dan tidak menghargai orang lain.

Menurutku, kesamaan cerita Bang Ipul dan Ayu Ting Ting adalah matinya etika.  Keduanya seolah menganggap "label" artis yang melekat menjadi kartu ajaib bisa berprilaku seenak hatinya.  Padahal justru sebagai artis atau publik figure harusnya bisa memberikan teladan.  Belajarlah untuk menghargai dan peka terhadap lingkungan.

Reaksi boikot baik kepada Bang Ipul ataupun Ayu, bukan alay.  Tetapi inilah bentuk kepedulian, atau alarm dari masyarakat tentang salah dan benarnya berprilaku, atau kita mengenalnya sebagai etika.

Kita tahu etika adalah aturan tidak tertulis.  Dulu, kita sudah auto mengerti mengucap maaf jika salah, dan terima kasih ketika diberi.  Inilah etikanya, tidak perlu aturan resmi atau tertulis yang mengatur tentangnya.  Tetapi nilai ini sudah diwariskan turun temurun oleh orang tua kita.

Menyedihkannya, seiring perubahan zaman, etika makin langka.  Semakin hari semakin banyak orang mati nuraninya.  Seenak hatinya mempermainkan atau berprilaku tanpa memperdulikan rasa orang di sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun