Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pelecehan Seksual Salah Siapa?

14 Juni 2021   00:59 Diperbarui: 14 Juni 2021   01:08 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kabar24.bisnis.com/

Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan sekalipun orang tersebut "korban" telah menjaga dan membawa dirinya sebaik mungkin di lingkungannya.  

Ironisnya, di dalam banyak kasus aksi pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan, seringkali berakhir perempuan menjadi pihak yang disudutkan dan dipersalahkan. Menyedihkan, sebab disini bukankah posisi perempuan korban?

Pertama kita sepakat dulu apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual adalah permintaan untuk melakukan perbuatan asusila, baik lisan  atau isyarat yang bersifat seksual, dan membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/ atau terintimidasi.

Bentuk pelecehan seksual adalah:

  1. Pemaksaan Seksual, adalah ketika seseorang dipaksa melakukan perilaku seksual yang tidak diinginkannya.
  2. Perilaku Menggoda, adalah ketika seseorang digoda hingga membuatnya risih, memaksa seseorang untuk melakukan hal yang tidak disukainya, dan ajakan lain yang tidak pantas atau diinginkan seseorang.
  3. Pelecehan Gender, adalah ketika seseorang dihina direndahkan oleh seseorang karena jenis kelamin yang dimilikinya, baik verbal ataupun non-verbal, tulisan ataupun gambar.
  4. Pelecehan Seksual Online, adalah ketika seseorang menerima kiriman gambar, video ataupun materi yang tidak pantas.

 

Pada kasus pelecehan seksual dalam hal ini pemerkosaan misalnya, cara berpikir stereotype masyarakat Indonesia cenderung mengambil jalan pintas loncat kepada kesimpulan dengan asumsi liar.  "Oooo....palingan si perempuannya saja yang genit, perempuannya yang "jual" diri, atau yang paling sering didengar adalah karena cara si perempuan berpakaian."

Aneh, kenapa perempuan yang sudah jatuh harus ketimpa tangga pula?  Kenapa seolah pelaku dibiarkan, dan terkesan disini pelaku adalah korban?

Merujuk Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilaksanakan secara nasional pada akhir tahun 2018, dan yang diikuti oleh lebih dari 62.000 orang telah membantah mitos tersebut. 

Hasil survei menunjukkan mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual melainkan memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%).  Selain itu hasil survei juga menunjukkan bahwa waktu kejadian mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).  Artinya ini membantah mitos bahwa pelecehan seksual terjadi karena korban berada di luar rumah pada malam hari.

"Selama ini korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap 'mengundang' aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan sendiri di malam hari. Tapi semua anggapan itu bisa dibantah dengan hasil survei ini."

"Hasil survei ini jelas menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari," kata founder perEMPUan Rika Rosvianti (Neqy), mewakili koalisi.

Bahkan kita juga menemukan fakta bahwa provinsi Aceh tergolong yang paling banyak mencatat kasus pencabulan terhadap perempuan dan anak-anak.  Padahal seperti diketahui bahwa provinsi Aceh sangat menjaga norma berpakaian dan pergaulan

Gambaran besarnya, ternyata martabat perempuan Indonesia di mata masyarakat belum sepenuhnya dianggap.  Masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap perempuan sebagai obyek penderita, alias kaum lemah.  Sehingga tidak ada cara lain, perempuan harus berani bersikap.

Beberapa masukan untuk mendapatkan "keadilan" dan menghindar dari pelecehan seksual adalah:

  • Pendidikan seks, sangat perlu dimulai sejak usia dini.  Anak sudah dikenal pada pendidikan seks dengan materi disesuaikan umur.  Misalnya, ketika usia TK mereka sudah harus tahu perbedaan anak laki dan anak perempuan.  Diajarkan bahwa mereka harus menjaga diri, dan tidak boleh membiarkan orang menyentuh hal yang bersifat pribadi.  Seiring bertambahnya usia maka materi pun bertambah, misalnya tentang reproduksi dan menghormati/ menjaga diri.

  • Mengajarkan bela diri, termasuk salah satu cara melindungi diri dari pelecehan seksual.

  • Berani bersuara, dimana korban pelecehan seks diharapkan berani membuka mulut.  Ini penting agar tidak membiarkan pelaku terus lanjut dengan aksinya.

  • Mengedukasi masyarakat, dengan harapan masyarakan memahami yang dimaksud dengan pelecehan seksual, termasuk pelecehan seksual di dunia maya.

  • Sanksi tegas hukuman kebiri atau penjara seumur hidup bagi pelaku pemerkosaan

Sejatinya, kasus pelecehan seksual fokus kepada pelaku.  Sebab kita tidak bisa mengatur cara pandang, berpikir dan prilaku orang lain.  Buktinya sekalipun perempuan sudah berpakaian rapi dan tertutup, bersikap sopan dan bertutur kata santun.  Tetap tidak menutup kemungkinan adanya potensi prilaku kejahatan seksual.  Sehingga ini bukan sekedar salah siapa, tetapi bagaimana perempuan korban kejahatan/ pelecehan seksual mendapatkan keadilannya.

Jakarta, 13 Juni 2021

Sumber:

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/02/192144320/komnas-perempuan-pelecehan-seksual-bukan-salah-cara-berpakaian-perempuan?page=all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun