Berjalan waktu, keduanya tumbuh dewasa aku rasa. Manis yang kami tidak pernah tahu umurnya satu waktu sakit. Yup, maklum namanya kucing, sesekali suka main dengan sesamanya kucing di luar sana. Lalu, hari itu pulang ke rumah dalam keadaan luka di beberapa bagian tubuhnya.
Meskipun bukan hewan peliharaan, tetapi kami merawat lukanya dengan obat merah secara rutin. Kami juga memberinya makanan lebih baik, termasuk susu agar cepat pulih. Bagaimanapun Manis telah lama bersama kami, begitu pikir kami sekeluarga.
Salahkan kami, aku dan adekku karena tidak memperlakukannya sama seperti Whitty. Sama sekali tidak terpikir untuk membawa Manis ke dokter hewan ketika itu.
Di saat itulah aku melihat persahabatan menyentuh Whitty dan Manis yang harusnya bermusuhan tapi saling menjaga. Ketika Manis sakit, Whitty sang adek selalu menemani. Sesekali mereka bermain, tetapi makin hari Manis makin pendiam.
Jika seperti ini Whitty akan coba mengajak bermain dengan bola mainan miliknya. Biasanya sih Manis senang, dan keduanya sibuk mengejar bola. Tetapi tidak kali ini, Manis lebih memilih diam dan kebanyakan rebahan saja.
Satu pagi, supir keluarga kami menemukan Manis sudah terbujur tidak bergerak di garasi, tempatnya selama ini. Aku memang tidak suka kucing. Tetapi melihat Manis terbujur rapi di sudut garasi tempat yang kami biasakan untuknya, kok ada rasa sedih yang banget. Termasuk Whitty yang ketika itu ikutan membuntutiku. Da mencoba menciumi Manis, kakaknya yang seekor kucing.
Kami mengubur Manis di halaman belakang rumah. Tempatnya sering bermain bersama Whitty. Harus aku akui, Manis kucing yang penurut. Tidak bohong, aku juga merasa ada yang hilang. Suara meongnya, dan kelincahannya ketika bermain bersama Whitty mendadak ngangenin.
Hingga saat ini, aku tetap konsisten tidak suka kucing, kecuali si Manis. Satu-satunya kucing yang bisa mencuri hatiku.
Jakarta, 26 Februari 2021