Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mereka yang di Benakku

20 Februari 2021   01:49 Diperbarui: 20 Februari 2021   02:23 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/

Hi kamu diary, kamu aku gangguin yah.  Habis bagaimana dong, pagi ini aku sulit banget tidur.  Padahal di luar sana hujan mengguyur seru.  Harusnya sih dingin hujan mampu membuatku bersembunyi di bawah selimut.  Badanku juga sudah sangat lelah sebenarnya. Tetapi tentang sore tadi membuatku ingin curhat ke kamu.   Kamu nyimak yah diary.

Diary, tadi pagi kebetulan aku dan pasanganku ada urusan.  Jadilah kami berdua meninggalkan kedua bocah di rumah.  Selain karena mereka harus mengikuti PJJ, mereka juga tidak masalah jika ditinggal.

Urusan makan siang no problem at all!  Kemarin sorenya aku sudah membuat gulai ayam favorit keluarga kecil kami.  Lengkap dengan sambel goreng tomat.  Jadi siang tadi mereka tinggal memanasi saja, dan hooppsss...nyam..nyam...deh.

Selesai urusan, kami mampir ke lapak buku bekas di daerah Blok M.  Yup, si bungsu menitip buku cerita sains untuk tugas sekolahnya.  Lancar jaya, dan tidak pakai lama buku yang dicari pun ketemu.

Meski sadar hari semakin sore, sebelum pulang masih ku sempatkan membeli roti favorit anak-anak dan 2 porsi siomay kesukaan si kakak.  Biar kedua bocahku yang sweet senang, begitu pikirku dan suami.


Tetapi...apa itu?  Nyesss.... ada sedih nusuk di hati.  Dibalik loket parkir, aku melihat bocah usia 6 tahun perkiraanku yang sedang diolesi cairan silver oleh seorang wanita.  Di dekatnya berdiri bocah lainnya usia 8 tahun sepertinya.  Seluruh tubuhnya termasuk rambut sudah berwarna silver!  Tetapi si kecil masih diproses oleh wanita itu, dan dia hanya diam saja patuh.

Emangnya harus yah?  Mereka khan masih anak-anak, kataku dalam hati sambil mata ini terus memandangi lekat dari dalam kendaraan kami yang mengantri di loket keluar.

Iya, aku tahu mereka dinamai manusia silver.  Bertemu dengan mereka juga bukan kali pertama.  Sudah sangat sering aku menemui manusia silver di lamput merah, tetapi yang dewasa.

Kira-kira sebulan lalu kali pertama aku melihat bocah-bocah imut menjadi manusia silver di sebuah lampu merah.  Mereka berdiri di tengah jalan mematung, mirip pantomin begitu gayanya.  Jangan bilang aku lebay, cengeng atau sejenisnya, tetapi benaran aku mewek.  Rasa sedih yang sama juga kembali aku rasakan sore tadi.

Tidak tahu yah, tetapi nggak kebayang saja bagaimana bisa wanita tersebut mengoleskan cairan silver ke tubuh-tubuh mungil itu.  Paham, mereka sedang berjuang bertahan hidup.  Ngerti banget ini lebih baik ketimbang mencuri.  Tetapi, apakah harus dengan merusak tubuh?  Apalagi itu dilakukan di tubuh mungil yang masa depannya masih panjang.

Pemandangan sebulan lalulah yang membuatku penasaran.  Aku mencari tahu apa sih yang mereka gunakan untuk mewarnai badan mereka itu.  Kamu tahu diary, ternyata mereka menggunakan cat sablon (Vinyl chloride) yang dicampur minyak tanah atau minyak goreng!  Duuhhhh...tetapi maaf apa karena rupiah kita harus mati konyol?  Bahkan anak pun "dikorbankan" untuk itu?  Sudah sangat bisa dibayangkan dampak jangka panjangnya pasti kanker!

Nyesekkkk....nyesekkkk...banget aku melihat mereka.  Anggap aku aneh, kepo atau sok malaikat, terserah!  Tetapi, sepengetahuanku dampak jangka pendek dari cat silver itu saja sudah mengerikan, misalnya iritasi pada mata, kulit, dan saluran napas, pusing, lemas, mual muntah, sampai hilang kesadaran!  Kebayang nggak sih, membersihkannya juga tidak mudah.  Harus digosok sedemikian rupa, dan itu bisa bikin lecet.  Begitu yang aku baca-baca dari beberapa media.

Aku ituuu...merasa nggak guna banget diary, karena hanya bisa curhat ke kamu.  Aku tidak bisa membayangkan masa depan anak-anak itu.  Sementara di belakang kursi mobil kami, sepelastik roti favorit, siomay dan harum manis telah berjejer rapi untuk kedua bocah di rumah.  Dan mataku saat ini melihat tubuh-tubuh mungil itu membiarkan dirinya dilumuri kimia untuk sesuap nasi?  Hikkss...harusnya pemerintah daerah atau dinas sosial berbuat sesuatu, pikirku.

"Heiii...kenapa sedih, khan bukan salahmu dek," begitu suara suamiku mengangetkanku yang terus saja memandangi bocah silver.  "Nanti kita berbagi," kembali suamiku menenangkan.  Lalu tiba giliran kami di loket membayar parkir.  Hoopsss...sebisanya suamiku memberi dalam kotak yang dipegang seorang manusia silver.

Kami berlalu dan meninggalkan mereka.  Tetapi kepalaku terus dipenuhi wajah-wajah polos bocah silver sore tadi.  Mimpiku negeri ini segera terbebas dari segala himpitan ekonomi.  Sehingga tidak ada lagi bocah malang yang harus bertaruh nyawa.

Mencari siapa yang salah, tidak akan berujung pangkal.  Tetapi, perut lapar menjadi alasan terkuat hingga rela melakukan segala.  Sepertinya begitu diary, pahit tetapi harus ditelan.

Terima kasih diary, untuk kamu yang menemani.  Kamu kertasku yang tak bergaris.

Jakarta, 20 Februari 2021

Sumber:
jabar.idntimes.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun