Hi kamu diary, kamu aku gangguin yah. Â Habis bagaimana dong, pagi ini aku sulit banget tidur. Â Padahal di luar sana hujan mengguyur seru. Â Harusnya sih dingin hujan mampu membuatku bersembunyi di bawah selimut. Â Badanku juga sudah sangat lelah sebenarnya. Tetapi tentang sore tadi membuatku ingin curhat ke kamu. Â Kamu nyimak yah diary.
Diary, tadi pagi kebetulan aku dan pasanganku ada urusan. Â Jadilah kami berdua meninggalkan kedua bocah di rumah. Â Selain karena mereka harus mengikuti PJJ, mereka juga tidak masalah jika ditinggal.
Urusan makan siang no problem at all! Â Kemarin sorenya aku sudah membuat gulai ayam favorit keluarga kecil kami. Â Lengkap dengan sambel goreng tomat. Â Jadi siang tadi mereka tinggal memanasi saja, dan hooppsss...nyam..nyam...deh.
Selesai urusan, kami mampir ke lapak buku bekas di daerah Blok M. Â Yup, si bungsu menitip buku cerita sains untuk tugas sekolahnya. Â Lancar jaya, dan tidak pakai lama buku yang dicari pun ketemu.
Meski sadar hari semakin sore, sebelum pulang masih ku sempatkan membeli roti favorit anak-anak dan 2 porsi siomay kesukaan si kakak. Â Biar kedua bocahku yang sweet senang, begitu pikirku dan suami.
Tetapi...apa itu? Â Nyesss.... ada sedih nusuk di hati. Â Dibalik loket parkir, aku melihat bocah usia 6 tahun perkiraanku yang sedang diolesi cairan silver oleh seorang wanita. Â Di dekatnya berdiri bocah lainnya usia 8 tahun sepertinya. Â Seluruh tubuhnya termasuk rambut sudah berwarna silver! Â Tetapi si kecil masih diproses oleh wanita itu, dan dia hanya diam saja patuh.
Emangnya harus yah? Â Mereka khan masih anak-anak, kataku dalam hati sambil mata ini terus memandangi lekat dari dalam kendaraan kami yang mengantri di loket keluar.
Iya, aku tahu mereka dinamai manusia silver. Â Bertemu dengan mereka juga bukan kali pertama. Â Sudah sangat sering aku menemui manusia silver di lamput merah, tetapi yang dewasa.
Kira-kira sebulan lalu kali pertama aku melihat bocah-bocah imut menjadi manusia silver di sebuah lampu merah. Â Mereka berdiri di tengah jalan mematung, mirip pantomin begitu gayanya. Â Jangan bilang aku lebay, cengeng atau sejenisnya, tetapi benaran aku mewek. Â Rasa sedih yang sama juga kembali aku rasakan sore tadi.
Tidak tahu yah, tetapi nggak kebayang saja bagaimana bisa wanita tersebut mengoleskan cairan silver ke tubuh-tubuh mungil itu. Â Paham, mereka sedang berjuang bertahan hidup. Â Ngerti banget ini lebih baik ketimbang mencuri. Â Tetapi, apakah harus dengan merusak tubuh? Â Apalagi itu dilakukan di tubuh mungil yang masa depannya masih panjang.
Pemandangan sebulan lalulah yang membuatku penasaran. Â Aku mencari tahu apa sih yang mereka gunakan untuk mewarnai badan mereka itu. Â Kamu tahu diary, ternyata mereka menggunakan cat sablon (Vinyl chloride) yang dicampur minyak tanah atau minyak goreng! Â Duuhhhh...tetapi maaf apa karena rupiah kita harus mati konyol? Â Bahkan anak pun "dikorbankan" untuk itu? Â Sudah sangat bisa dibayangkan dampak jangka panjangnya pasti kanker!
Nyesekkkk....nyesekkkk...banget aku melihat mereka. Â Anggap aku aneh, kepo atau sok malaikat, terserah! Â Tetapi, sepengetahuanku dampak jangka pendek dari cat silver itu saja sudah mengerikan, misalnya iritasi pada mata, kulit, dan saluran napas, pusing, lemas, mual muntah, sampai hilang kesadaran! Â Kebayang nggak sih, membersihkannya juga tidak mudah. Â Harus digosok sedemikian rupa, dan itu bisa bikin lecet. Â Begitu yang aku baca-baca dari beberapa media.
Aku ituuu...merasa nggak guna banget diary, karena hanya bisa curhat ke kamu. Â Aku tidak bisa membayangkan masa depan anak-anak itu. Â Sementara di belakang kursi mobil kami, sepelastik roti favorit, siomay dan harum manis telah berjejer rapi untuk kedua bocah di rumah. Â Dan mataku saat ini melihat tubuh-tubuh mungil itu membiarkan dirinya dilumuri kimia untuk sesuap nasi? Â Hikkss...harusnya pemerintah daerah atau dinas sosial berbuat sesuatu, pikirku.
"Heiii...kenapa sedih, khan bukan salahmu dek," begitu suara suamiku mengangetkanku yang terus saja memandangi bocah silver. Â "Nanti kita berbagi," kembali suamiku menenangkan. Â Lalu tiba giliran kami di loket membayar parkir. Â Hoopsss...sebisanya suamiku memberi dalam kotak yang dipegang seorang manusia silver.
Kami berlalu dan meninggalkan mereka. Â Tetapi kepalaku terus dipenuhi wajah-wajah polos bocah silver sore tadi. Â Mimpiku negeri ini segera terbebas dari segala himpitan ekonomi. Â Sehingga tidak ada lagi bocah malang yang harus bertaruh nyawa.
Mencari siapa yang salah, tidak akan berujung pangkal. Â Tetapi, perut lapar menjadi alasan terkuat hingga rela melakukan segala. Â Sepertinya begitu diary, pahit tetapi harus ditelan.
Terima kasih diary, untuk kamu yang menemani. Â Kamu kertasku yang tak bergaris.
Jakarta, 20 Februari 2021
Sumber:
jabar.idntimes.com