Kala kendali diri goyah, urusan SARA, golongan dan kesalahan masa lalu jadi jalan pintas untuk memukul balik lawan. Ibaratnya, pertandingan tinju tapi kok main kaki.
Bak asmara-buta dua insan, kecintaan pada golongan atau kelompok kerap mensahkan penggiringan logika dan opini demi kepentingan sepihak. Satu opini muncul menusuk, terbit pula opini lain menangkis. Bulutangkis argumen....
Gesekan intensitas tinggi tersebut lantas menimbulkan pertanyaan... Kala euforia pilgub berakhir, akankah dunia maya yang selama ini saling sundul kembali jadi “inspiratif”?
Berkaca dari pilpres 2014 lalu, hal tersebut tampaknya tak serta merta menyudahi pihak-pihak tertentu untuk terus bercocok tanam atau menebar benih provokatif. Usai pesta demokrasi, ranjau-ranjau anti rekonsiliasi nyatanya masih kerap ditebar.
Sayang memang, hidangan pesta demokrasi yang kaya pilihan ini belum dapat dinikmati sepenuhnya, ketika kecondongan atas kesamaan golongan, pilihan, kepentingan dan latar belakang masih terasa lebih mendominasi ketimbang telaah plus-minus dari tiap pasangan yang maju menawarkan diri.
Di sisi lain, jangankan karena faktor agama, ras, suku dan lain-lain... Orang yang koleksi bajunya cenderung bermotif tertentu pun bisa kembali pening, gara-gara potensial diidentikkan dengan pilihan tertentu... hehehe.
Akhir kata, jika pihak netral dalam Pilgub 2017 bisa diibaratkan sebagai partisipan lomba perang bantal di perayaan 17 Agustus, maka untuk bisa bertahan jelas butuh fitnya koordinasi dan keseimbangan fisik, otak, hingga emosi. Luput satu... Tercebur deh ke kolam “huru-hara”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H