Mohon tunggu...
Desti Sekar Anggiani
Desti Sekar Anggiani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tantangan Kerjasama Myanmar-Bangladesh dalam Penanganan Krisis Pengungsi Rohingya Lewat Program Repatriasi

29 April 2025   21:27 Diperbarui: 29 April 2025   21:27 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik yang melibatkan antara pemerintah Myanmar dengan para etnis Rohingya sudah berlangsung sejak lama. Etnis Rohingya merupakan sekelompok warga negara Myanmar yang beragama muslim yang sudah lama tinggal di Myanmar. Konflik ini juga diketahui adanya 'dugaan' genosida terhadap para etnis Rohingya, yang mana pemerintah Myanmar tidak mengakui para masyarakat etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar, meskipun beberapa warga etnis Rohingya sudah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Dampaknya dari tidak adanya pengakuan ini, para etnis Rohingya ini mengalami banyaknya kesulitan dalam mengakses beberapa fasilitas kesehatan, pendidikan, hilangnya kebebasan mengeluarkan pendapat, dan masih banyak lagi. Tindakan yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar juga sudah bukan termasuk genosida lagi, namun dugaan adanya kasus kekerasan seksual juga dijadikan sebagai alat untuk bisa memusnahkan etnis Rohingya. Tindakan yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar dan juga pemerintah Myanmar mendapat kecaman dunia, khususnya dari para negara tetangga dan ASEAN itu sendiri. Selain itu, bala bantuan yang diberikan oleh PBB sendiri juga ditutup aksesnya oleh pihak Myanmar. Dampak dari konflik berkepanjangan ini adalah banyaknya warga Rohingya yang memutuskan untuk kabur ke berbagai negara lewat jalur laut dengan menaiki kapal-kapal dan mulai memasuki ke berbagai negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Konflik Myanmar-Rohingya ini mendapatkan perhatian internasional serta kecaman dari banyak pihak. Setelah mendapat banyak kecaman, Myanmar menghadapi banyak perubahan dan juga ancaman pemberhentian kerjasama dari berbagai negara mitra mereka. Ancaman yang diterima oleh Myanmar tidak lain adalah pembekuan aset, larangan perjalanan luar negeri bagi pejabat militer, dan masih banyak lagi sanksi internasional yang diberikan kepada Myanmar. Oleh sebab itu, Myanmar memutuskan untuk memperbaiki citra mereka tanpa mengakhiri konflik yang terjadi karena pemerintah Myanmar masih berpegang teguh terhadap pendirian mereka.

Dengan semakin rumitnya konflik di Myanmar, pengungsi Rohingya memutuskan untuk melarikan diri tanpa adanya paspor ataupun visa yang mereka bawa. Barang yang mereka bawa hanya perlengkapan primer, dan membawa beberapa anggota keluarga mereka keluar dari kawasan Myanmar. Bagi mereka, kabur dari negara yang sudah mereka tempati sejak dari generasi terdahulu adalah pilihan terbaik daripada menetap disana yang taruhannya adalah nyawa mereka sendiri. Pelarian etnis Rohingya ini menyebar ke seluruh negara di ASEAN, termasuk lari ke negara Bangladesh. Pada tahun 1978 merupakan kedatangan paling besar masyarakat Rohingya ke Bangladesh pada saat terjadinya operasi Dragon King atau sebutan lainnya adalah Nagamin. Operasi ini merupakan operasi pemberantasan imigran ilegal di kawasan Myanmar dengan cara dibunuh. Sekitar 200.000 masyarakat Rohingya yang mengungsi ke kawasan Bangladesh untuk menghindari operasi kejam yang dilakukan oleh pihak Junta Militer. Lalu, pihak Myanmar dan pihak Bangladesh menandatangani sebuah perjanjian lewat sebuah program repatriasi dengan memulangkan masyarakat Rohingya kembali ke Myanmar yang mengungsi ke Bangladesh sepanjang tahun 1978-1992. Namun, pada tahun 2012, masyarakat Myanmar kembali mengungsi ke Bangladesh setelah pihak Myanmar dan para tentaranya yang disebut Myanmar Tatmadaw menyerang secara kejam para masyarakat etnis Rohingya. Diperkirakan sekitar 162.000 pengungsi yang kabur ke kawasan Bangladesh. Pada tahun 2016 tanggal 9 Oktober, etnis Rohingya juga kembali memasuki kawasan Bangladesh akibat adanya penyerangan di perbatasan Rakhine. Penyerangan tersebut memakan beberapa korban jiwa yang diantaranya dibunuh dengan cara yang cukup kejam dan beberapa desa disana juga dibakar habis. Diperkirakan ada sekitar 90.000 pengungsi yang masuk ke kawasan Bangladesh dan meningkat sangat tajam menjadi kurang lebih 680.000 pengungsi Rohingya di tahun 2017. Tindakan kabur dari negara mereka sendiri, bagi para rakyat Rohingya merupakan sebuah keajaiban jika mereka tidak dideportasi ke negara asal mereka. Perjuangan yang mereka lewati untuk bisa sampai ke Bangladesh, baik dari mengalami dehidrasi, kekurangan cadangan makanan, bahkan ada beberapa pengungsi Rohingya yang tewas di tengah perjalanan yang memakan sekitar 10 hari tersebut.

Dengan adanya peningkatan jumlah masyarakat Rohingya yang sangat signifikan, Bangladesh dan Myanmar memutuskan untuk melakukan kerjasama dan perjanjian yang dapat mengatasi krisis pengungsi Rohingya. Kerjasama yang dilakukan oleh Myanmar dan Bangladesh menghasilkan beberapa hasil namun harus melewati beberapa tantangan yang ada. Myanmar dan Bangladesh memutuskan untuk melakukan kerjasama lewat sebuah program yang dimana program tersebut ditujukan untuk melakukan pemulangan kepada masyarakat etnis Rohingya kembali ke Myanmar. Namun program tersebut memiliki dampak buruk bagi para pengungsi karena sama saja dengan mengembalikan mereka kepada para tentara untuk dibunuh dan disiksa, namun program ini harus dilakukan karena peningkatan pengungsi Rohingya di Bangladesh juga memiliki dampak yang besar karena beberapa kebutuhan yang harus disiapkan oleh pemerintah Bangladesh juga meningkat. Lalu, pihak Bangladesh juga sudah membangun sebuah lokasi pengungsian yang strategis yang sudah menampung kurang lebih 1 juta jiwa pengungsi Rohingya di Bangladesh. Program repritiasi ini tetap berjalan setiap tahunnya namun selalu menghadapi ketegangan antara pihak Myanmar dan Bangladesh itu sendiri. Pihak Myanmar menuduh bahwa pihak Bangladesh tidak menanggapi secara serius untuk pemulangan para pengungsi dan menganggap pembangunan kamp yang ada di Bangladesh diduga dijadikan sebagai pengembangan kelompok militan. Sebaliknya, pihak Bangladesh menganggap pihak Myanmar tidak serius dalam dan tidak menunjukkan adanya tindakan nyata dari Myanmar itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun