Mohon tunggu...
Desti Noer Ambarwati
Desti Noer Ambarwati Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Jangan lupa bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Maafkan Aku, Bu

13 Januari 2020   19:31 Diperbarui: 31 Januari 2020   16:59 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku Nadia, terlahir dari keluarga yang entah kemana ibunya. Ayah bilang, ibu pergi karena ia lebih memilih laki-laki lain dibandingkan dengan ayahku. Aku sedih. Aku tidak bisa melihat wajah ayah lagi. Ayah telah meninggal dunia karena kecelakaan. Kini aku tinggal bersama adikku, Naura.


Kota yang sunyi, malam telah menelan semua isi keramaian ini. Suara burung mencekam menusuk bintang di langit malam. Hujan deras mengguyur atap rumahku, sudah reda namun rintiknya masih terasa. Jarum jam yang berputar tak terhenti bagaikan komedi putar di malam hari. Perlahan mataku membuka, melihat dunia yang tiada arti. Hingga saat ini, aku masih membenci ibuku sendiri.


Entahlah, kehidupan ini memang di atur oleh Maha Kuasa. Aku hanya bisa menerima garis takdir. Takdir tak selalu sama dengan apa yang aku impikan. Terkadang jauh dari harapan, membuat tak bertahan dan masuk ke lubang penderitaan. Dan aku, mengalami nya. Banyak hal yang membuat air mataku mengalir. Itulah alasan kenapa aku benci pada ibuku, dia tak pernah memberitahu dimana dia berada ketika aku sangat membutuhkan nya. Hingga saat ini aku tak tahu siapa dan seperti apa wajah ibuku.


"Assalamu'alaikum."
"Siapa sih malam-malam gini, kak?" dengan rasa penasaran.
"Gatau ra," aku pun menggelengkan kepala.

"Yaudah biar aku aja yang buka" untuk membayar rasa penasaran ku, akupun pergi membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam, siapa ya?" aku heran, karena aku tidak mengenalnya.
"Ini Nadia? Kamu cantik sekali, nak. Anak ibu sudah besar rupanya." Sambil memeluk ku yang sedang bingung siapa dia sebenarnya.
"Siapa kamu? Apa maksudnya dengan menyebutkan bahwa kamu ini ibu?" aku pun dengan segera melepaskan pelukan wanita itu.
"Ini ibumu, nak. Maafkan ibu..."
"Tunggu-tunggu, jadi ini ..? Ngga! Pergi!, pergi kamu dari sini!!!"
"Tunggu nak, ibu akan jelas---"
"Ga perlu jelasin apa-apa,bu. Aku benci sama ibu, ibu datang setelah ayah meninggal. Ibu kemana ketika aku membutuhkan asi ibu hah? Ibu kemana ketika aku mulai belajar bicara? Ibu kemana ketika aku ingin dibuatkan kue seperti anak yang lain bu? Kemana bu? Kemana?!! Dan sekarang, ibu tiba-tiba datang ketika ayah sudah meninggal. Sadar ga bu, aku ini perempuan sama seperti ibu... Hmm memang benar kata ayah, ibu telah mengkhianati ayah." aku sangat marah pada wanita itu, aku sangat benci padanya.
"Nadia, dengarkan penjelasan ibu dulu nak. Kamu salah paham. Kamu tidak tahu yang sebenarnya seperti apa, sayang." sang ibu menangis.
"Ibu gausah panggil aku sayang. Karena sampai kapan pun aku tetap benci sama ibu!!!"
"Di luar siapa sih, kok malah ribut." kata Naura yang merasa heran, "Aku kesana aja kali ya." ujar Naura yang merasa bising  mendengar keadaan diluar rumah.

"Kaka!!!" Naura menahan Nadia yang akan menampar wanita paruh baya itu.
"Apa-apaan sih kamu!" aku kesal karena Naura menghalangi ku.
"Naura sayang ..." memeluk Naura.

"Bentar, ini siapa?, Ini ibu?" dengan rasa penasaran sekaligus terharu.
"Iya, nak." sang ibu menunduk, takut Naura pun membenci dirinya.

"Ibuu..." sambil memeluknya, "Aku kangen ibu, aku mohon jangan tinggalkan kami lagi, bu." dengan polosnya ternyata Naura malah senang ketika sang ibu datang.
"Kak, ini ibu kita ... Bukannya kaka ingin bertemu dengan ibu?" Naura menegaskan padaku.
"Diam kamu!!!" Akupun masuk ke dalam rumah.

"Kok kaka gitu sih." Naura sedih melihat kakanya sendiri yang kasar pada sang ibu.
"Naura, Ibu akan tinggal bersama kalian, ibu akan berusaha menembus semua kesalahan ibu. Tapi asal Naura tau, ibu tidak bersalah sayang." sambil menatap matanya.
"Aku yakin ibu tidak pernah berniat untuk meninggalkan kami saat kami masih kecil, bu. Aku sayang ibu." Memeluk kembali ibunya.


Wanita paruh baya itupun yang tidak lain adalah ibunya sendiri, tinggal bersama Nadia dan Naura di rumah almarhumah ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun