Mohon tunggu...
Dessy Franly
Dessy Franly Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Life is Anicca

Selanjutnya

Tutup

Film

Kupas Tuntas 5 Sisi Subsektor Ekonomi Kreatif: Film

22 Desember 2020   00:09 Diperbarui: 22 Desember 2020   00:12 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Ekonomi kreatif (Ekraf) merupakan konsep perekonomian di era ekonomi modern yang mengedepankan ide dan pengetahuan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai bagian utama dari produksi. Menurut United Nations Conference on Trade and Development atau UNCTAD (Putri, Nuraeni, Christin & Sugandi, 2017, h. 28), ekonomi kreatif sebagai suatu konsep ekonomi yang berkembang atas dasar aset kreatif yang berpotensi untuk menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Achdiat (2020) menyebutkan bahwa ekonomi kreatif terdiri atas 17 subsektor dan salah satunya adalah film.

Apa Itu Perfilman?

Komalawati (2017, h. 23) menyatakan film merupakan media komunikasi massa yang masih bertahan hingga saat ini, yaitu di tengah media baru yang berkembang semakin pesat dalam bermacam-macam aspek. Film dapat dilihat dengan berbagai perspektif, yaitu sebagai media, seni, edukasi, dan industri media massa yang berkaitan dengan ekonomi media. Pentingnya film bagi perjalanan bangsa terdapat dalam Undang-Undang Perfilman Tahun 1992 yang kemudian diperbarui pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 yang disesuaikan dengan perkembangan masa.

Undang-Undang Perfilman Tahun 2009 menimbang bahwa (a) film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman; (b) bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi; (c) bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia; dan (d) bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan pertimbangan pada Undang-Undang Perfilman Tahun 2009 tersebut, maka memajukan perfilman yang tergolong di bidang industri kreatif yang selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab negara. Akan tetapi, perfilman yang dikembangkan harus tetap sesuai dengan ideologi Pancasila.

Bagaimana Kontribusi Perfilman di Indonesia?

Hariyanti (2019) di katadata.co.id menyatakan bahwa menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasi oleh Bekraf, terdapat empat subsektor ekonomi kreatif yang tumbuh pesat pada tahun 2016, yaitu televisi dan radio sebesar 10,33%; film, animasi, dan video sebesar 10,09 persen; seni pertunjukan sebesar 9,54% persen serta desain komunikasi visual sebesar 8,98 persen. Dengan kata lain, film adalah salah satu subsektor ekonomi kreatif yang unggul di tahun 2016.

Herman & Prasetyo (2020) pada Beritasatu.com memberitakan bahwa pada tahun 2017, terdapat tiga subsektor ekonomi kreatif yang memberi kontribusi terbesar terhadap PDB Nasional, yaitu Film sebesar US$ 1,8 triliun, musik sebesar US$ 4,8 triliun, serta aplikasi dan game sebesar US$ 19 triliun. Dengan kata lain, film juga adalah salah satu subsektor ekonomi kreatif yang unggul di tahun 2016.

Selain itu, Herman & Prasetyo (2020) pada Beritasatu.com juga memberitakan bahwa menurut data OPUS Ekonomi Kreatif 2020, kontribusi 17 subsektor ekonomi kreatif pada PDB Nasional diperkirakan mencapai 1.100 triliun. Dari itu, sumbangan terbesarnya berasal dari tiga subsektor ekonomi kreatif yaitu kuliner sebesar 41 persen, fashion sebesar 17 persen, serta kriya sebesar 14,9 persen. Ketiga subsektor tersebut juga menyumbang ekspor Indonesia paling tinggi, yaitu fashion sebesar 11.964 juta dolar Amerika Serikat, kriya sebanyak 6.000 juta dolar Amerika Serikat dan kuliner 1.300 juta dolar Amerika Serikat. Meskipun pada tahun 2020 film tidak termasuk dalam ketiga subsektor tersebut, tetapi film tetap merupakan subsektor prioritas yang memiliki potensi bersama dengan subsektor musik serta aplikasi dan game.

Perfilman di Tengah Pandemi Covid-19

Sembiring, Janati, Setiawan, & Auliana (2020) di Kompas.com mencantumkan bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi kreativitas para pelaku perfilman. Chand Parwez (Bos rumah produksi Starvision) menyebutkan bahwa kreativitas tetap berjalan meskipun saat pandemi tidak ada produksi, yaitu dengan ia tetap berusaha mengerjakan proses pra-produksi. Beberapa film berhasil dirilis dan diproduksi oleh rumah produksi Starvision pada masa pandemi, seperti "Mariposa (12 Maret 2020)" dan "Tersanjung (19 Maret 2020)". Ernest Prakarsa juga membahas tentang kreativitas, yaitu ia memiliki pandangan bahwa kreativitas para pekerja film terpengaruh akibat pandemi ini, salah satunya ia tidak memiliki energi dan suasana hati yang baik untuk menulis skenario film meskipun mempunyai banyak waktu luang. Agustiya Herdwiyanto (seorang pekerja film di Fourcolors Film) berpendapat bahwa pandemi menjadi momentum untuk menguji level kreativitas setiap orang dan pandemi ini tidak benar-benar menghentikan suatu produksi film karena telah dibuktikan dengan film "Kucumbu Tubuh Indahku" dan "Mountain Song".

Selain kreativitas, ternyata pandemi Covid-19 berpengaruh terhadap penghasilan para pelaku perfilman. Selain produser, sutradara, dan pemain, ada para kru film yang juga merasakan sulitnya perfilman di masa pandemi ini karena mereka harus memenuhi kebutuhan dengan kondisi penghasilan yang kurang akibat syuting yang terhenti. Hanung Bramantyo (pemilik rumah produksi Dapur Film) dengan paksa merumahkan para kru sebab produksi tidak berjalan. Menurutnya, kru film harus mencari sumber pengganti penghasilan selama pandemi, bahkan ada kru film yang menjual jamu.

Untuk menyongsong New Normal, beberapa bioskop kembali dibuka. Para sineas mulai merancang protokol kesehatan untuk perfilman Indonesia. Protokol kesehatan ini dikomunikasikan dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Untuk masa depan bioskop yang baru, tantangan industri film tidak serta-merta berakhir. Bentuk tantangan baru tersebut seperti pembatasan jumlah kursi bioskop pada satu kali penayangan film.

Stakeholders di Subsektor Film

Dari uraian pada bagian Perfilman di Tengah Pandemi, dapat dilihat bahwa ada banyak pihak yang memangku subsektor perfilman. Para pemangku itu sering disebut dengan stakeholders. Stakeholders merupakan orang-orang tertentu baik individu atau kelompok yang mempunyai relasi penting dengan perusahaan dan organisasi yang terikat demi kelangsungannya (Salsabila & Santoso, 2018, h. 67). Berikut adalah stakeholders yang terdapat pada subsektor perfilman (Setiantono, 2015, h. 1719):

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun