Mohon tunggu...
Desni Taileleu
Desni Taileleu Mohon Tunggu... STT Ekumene Medan

Saya senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kenangan Adalah Rumah yang Tak Lagi Bisa Kuinggahi

22 Juli 2025   09:20 Diperbarui: 22 Juli 2025   09:20 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Anak yangsedang berlari bermain layangan( sumber : xuanduongvan87)

Ada rumah-rumah yang tak dibangun dari batu bata, kayu, dan atap seng. Ada rumah-rumah yang tak punya pintu, tak punya jendela, tapi tetap terasa begitu hangat---karena rumah itu bernama kenangan.

Dan aku pernah punya rumah semacam itu. Sebuah rumah yang tak bisa kutunjukkan pada siapa-siapa, tapi bisa kusambangi dalam diam. Rumah yang tak bisa kutinggali lagi, tapi terus kukenang setiap kali malam terasa sepi.

Ada masa ketika semuanya terasa utuh. Tertawa tak perlu alasan, perpisahan tak pernah terpikirkan, dan hari-hari terasa seperti cerita yang tak akan ada akhirnya. Aku ingat sore-sore yang selalu ditutup dengan senyuman. Langit jingga, suara sepeda tua di kejauhan, dan aroma kopi dari dapur kecil milik ibu.

Semua itu bukan sekadar peristiwa. Ia adalah rumah tempat aku pulang saat dunia terlalu bising. Tapi rumah itu kini hanya hidup di kepalaku. Fisiknya mungkin masih ada---orang-orangnya mungkin masih bernapas---tapi suasananya tak lagi sama.

Waktu mengubah banyak hal. Dan paling menyedihkan, waktu juga mengubah orang.

Dulu, aku bisa mengetuk pintu rumah itu dan menemukan peluk hangat, atau senyum seseorang yang tahu caranya menghibur tanpa banyak kata. Tapi kini, aku hanya bisa mengetuk dari dalam hati, berharap semesta memberi aku satu kesempatan lagi untuk masuk... walau hanya sebentar.

Kita sering kali baru menyadari bahwa sebuah momen itu berharga saat ia sudah jadi kenangan. Dulu kita mengalaminya begitu saja---tertawa, bercanda, menangis, bersandar. Kita kira semuanya akan terus begitu. Kita kira waktu akan sabar menunggu.

Tapi waktu tak pernah menunggu.

Satu demi satu, orang-orang pergi. Sebagian karena jarak, sebagian karena prinsip, sebagian karena hidup memang harus begitu. Dan kita, seperti anak-anak yang kebingungan di pasar, hanya bisa berdiri di tengah keramaian sambil menatap kosong, berharap ada satu suara familiar yang memanggil nama kita dan bilang, "Ayo pulang."

Tapi tak ada yang datang. Tak ada suara yang memanggil. Hanya gema kenangan yang terus berputar di kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun