Pernikahan merupakan ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diijinkan bila laki-laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan Keluarga Berencana (Setiyaningrum, 2015).
Undang-Undang Pernikahan tahun 1974 menetapkan bahwa usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Namun dari sudut pandang kesehatan, usia perempuan yang siap secara fisik dan mental untuk menikah adalah pada usia 21 tahun, sedangkan laki-laki pada usia 25 tahun. Dari sekian banyak hasrat manusia, hasrat seksual yang sulit dikontrol diri dan salah satu efeknya adalah terjadinya pernikahan di usia muda. Pernikahan dini bukanlah fenomena baru, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain (Janiwarty dan Pieter, 2013). Dampak pernikahan usia muda beresiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan reproduksi (Kemenkes,2014).
Dalam penelitian Hotnatalia Naibaho (2013), Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan diusia muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi diluar nikah. Hal ini terjadi karena adanya kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kehamilan yang tidak direncanakan dalam hal ini terjadi sebelum menikah, akibat dari pergaulan bebas yang tidak terkontrol mengharuskan remaja untuk melakukan pernikahan di usia dini yang dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Padahal pasangan yang menikah di usia dini memiliki kematangan psikologis yang belum tercapai. Berbagai dampak negatif juga diperlihatkan dari pernikahan dini. Ditinjau dari segi sosial, dengan perkawinan mengurangi kebebasan pengembangan diri, mengurangi kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta menjadi sebuah aib bagi keluarga di lingkungan masyarakat setempat. Dan ditinjau dari segi kesehatan, perkawinan usia muda meningkatkan angka kematian bayi dan ibu, risiko komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Bagi bayi risiko terjadinya kesakitan dan kematian meningkat. Lalu beberapa pasangan dini ini biasanya memiliki taraf kehidupan yang rendah dikarenakan belum siapnya dalam segi kondisi ekonomi.
Hal ini juga yang terjadi dilingkungan tempat tinggal saya. Ada pasangan muda yang terpaksa menikah muda karena pihak perempuan dinyatakan hamil. Hal ini membuat geger lingkungan saya karena baru ada kasus seperti ini disana. Diberitahukan bahwa sepasang muda mudi tersebut memang sepasang kekasih, laki-laki kelas 1 SMA dan perempuannya kelas 2 SMP.
Mengapa hal ini dapat terjadi ialah karena pergaulan bebas yang pelaku lakukan serta kurangnya kontrol dari orang tua. Anak perempuan tersebut berasal dari keluarga yang menyewa sebuah rumah didekat sini, yang dimana juga sering ditinggal oleh kedua orang tuanya bekerja. Alhasil rumah terkadang kosong atau kadang ada sang kakak dari perempuan, yang menemani. Walau begitu, sepasang muda mudi kadang memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah sang perempuan baik saat ada orang tua atau tidak. Tetangga sebelah rumah bahkan kerap kali melihat bahwa pasangan muda mudi itu sering berada dirumah dengan kurun waktu yang lama.
Kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan karena menganggap mereka akan aman karena hanya bertemu di dalam rumah saja. Dalam artian, mereka tidak akan melarang karena anaknya tidak perlu main atau berkegiatan diluar. Padahal hal ini yang lebih berbahaya. Membiarkan laki-laki dan perempuan di dalam tempat tertutup dapat menimbulkan fitnah di masyarakat bahkan kejadian diluar batas seperti terjadinya perzinahan.
Itulah yang terjadi pada muda-mudi ini, sang anak perempuan dinyatakan hamil. Dan berdampak mereka harus dinikahkan. Hal ini sangat membuat geger dikarenakan sang anak perempuan memiliki citra cukup baik di masyarakat sekitar bahkan saya sendiri sempat kaget mendengar berita ini karena tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.
Kemudian pernikahan pun segera dilangsungkan secara kecil-kecilan, mengundang kerabat dan beberapa masyarakat sekitar. Setelah menikah, pasangan muda ini sempat tinggal di rumah sang perempuan dalam beberapa waktu. Untuk urusan sekolah, pihak perempuan harus putus sekolah sedangkan pihak laki-laki masih berlanjut. Ini dikarenakan kondisi perempuan yang tengah hamil dan disarankan untuk dirumah saja mengingat umurnya yang masih belia untuk kondisi seperti ini.Â
Setelah kejadian ini, ibu dari pihak perempuan memutuskan untuk membuka usaha di rumah untuk menjaga sang anak dan kandungannya begitu pun sang anak juga membantu ibu dalam berjualan.
Hari-hari berlalu, akhirnya bayi yang dikandung pun dilahirkan dengan berjenis kelamin. Hal ini membuat kedua belah pihak merasakan perasaan bahagia. Setelah sang anak lahir, pasangan ini memilih untuk tinggal berdekatan dengan keluarga laki-laki yang mana masih satu wilayah dengan tempat tinggal saya. Mereka juga sempat membuka usaha berdagang produk kecantikan secara kecil-kecilan untuk membiayai biaya hidup keluarga kecil mereka.