Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paus Fransiskus dan Warisan Moral Dunia

22 April 2025   14:25 Diperbarui: 22 April 2025   14:25 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus (Sumber: Kompas.com)

Dunia kembali berduka. Paus Fransiskus, pemimpin spiritual Gereja Katolik yang dikenal luas karena keteladanannya dalam hidup sederhana, keberpihakannya pada yang tertindas, serta keterbukaannya terhadap perubahan zaman, telah berpulang. Ia bukan sekadar pemimpin umat Katolik sejagat, tetapi tokoh moral global yang dihormati lintas agama dan negara.

Wafatnya Paus Fransiskus tidak hanya menyisakan kesedihan bagi satu komunitas iman, tetapi juga meninggalkan kekosongan etis di panggung kepemimpinan dunia yang sedang kehilangan figur-figur teladan. Di tengah berbagai krisis kemanusiaan, pemanasan global, konflik bersenjata, dan dekadensi moral di banyak level kekuasaan, kehadiran Fransiskus seperti oase yang menyejukkan dan sekaligus menegur. Ia memerankan posisinya bukan sebagai figur simbolik, tetapi sebagai pemimpin yang bersuara lantang tentang ketidakadilan.

Paus Fransiskus menjadi Paus pertama dari benua Amerika Selatan, berasal dari Argentina, dan juga yang pertama berasal dari ordo Jesuit. Sejak awal masa kepausannya pada tahun 2013, ia memilih nama "Fransiskus" sebagai penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi---tokoh Katolik yang dikenal karena hidup dalam kemiskinan dan kepeduliannya pada makhluk hidup dan alam semesta. Nama itu bukan sekadar simbol, melainkan menjadi dasar filosofi kepemimpinannya.

Dalam banyak kesempatan, ia menolak segala bentuk kemewahan yang biasanya melekat pada jabatan tertinggi Gereja Katolik. Ia memilih untuk tinggal di Wisma Domus Sanctae Marthae, bukan di Istana Apostolik. Ia juga kerap menggunakan kendaraan biasa, dan tidak segan turun langsung menemui orang miskin, migran, atau narapidana. Bagi Paus Fransiskus, menjadi pemimpin berarti melayani, bukan dilayani.

Salah satu pernyataannya yang paling menggema adalah, "Realities are greater than ideas." Ia menolak pemahaman agama yang abstrak tanpa berpijak pada kenyataan umat manusia. Ia mengingatkan bahwa iman tak boleh mengabaikan penderitaan dunia nyata. Dengan suara yang lembut namun tegas, ia menyerukan pembaruan dalam Gereja Katolik, termasuk dalam pendekatan terhadap kaum LGBTQ, perempuan, dan korban pelecehan seksual di lingkungan gereja. Dalam dokumen apostolik Amoris Laetitia, ia menulis, "Kita dipanggil untuk menyambut, bukan mengutuk; untuk merangkul, bukan mengusir."

Paus Fransiskus juga menjadi salah satu pemimpin agama paling vokal tentang krisis iklim. Dalam ensiklik Laudato Si' (2015), ia menegaskan bahwa bumi adalah rumah bersama yang sedang sekarat akibat keserakahan manusia. Ia menyebut eksploitasi terhadap alam sebagai "dosa ekologis" dan mengajak semua umat manusia---bukan hanya umat Katolik---untuk membangun etika ekologis global.

Di ranah politik global, Paus Fransiskus tak segan menyampaikan kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal yang ia anggap "membunuh." Ia menolak globalisasi yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan menyuarakan solidaritas global kepada kaum tertindas. Ketika dunia larut dalam siklus kekerasan dan xenofobia, Fransiskus menjadi pembela para pengungsi, imigran, dan korban perang. Dalam kunjungannya ke Pulau Lesbos, Yunani, ia bahkan membawa beberapa pengungsi untuk tinggal di Vatikan.

Warisan moral Paus Fransiskus tidak dapat diukur dengan statistik atau indikator pembangunan, tetapi terasa kuat dalam gelombang kesadaran baru di berbagai belahan dunia. Ia menjadi inspirasi bagi gerakan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan interfaith dialogue. Bahkan pemimpin negara-negara yang secara resmi bukan Katolik pun sering menyebut namanya sebagai referensi moral. Presiden Prancis Emmanuel Macron, dalam pernyataan belasungkawanya, menyebutnya sebagai "hati nurani dunia."

Sebagai akademisi hukum, saya melihat warisan Paus Fransiskus sebagai contoh bahwa hukum dan kepemimpinan harus berakar pada etika kemanusiaan. Ia tidak menawarkan dogma, tetapi keberanian untuk mengakui keterbatasan manusia dan membuka pintu dialog. Dalam dunia hukum, di mana formalitas dan prosedur kerap lebih diutamakan daripada keadilan substantif, pendekatan Fransiskus menjadi pengingat penting: bahwa hukum yang tidak membawa belas kasih adalah hukum yang kosong.

Ia adalah tokoh yang berhasil menunjukkan bahwa agama tidak harus menjadi tembok, tetapi bisa menjadi jembatan. Ia tak pernah memaksakan ajaran dengan cara menghakimi, tetapi melalui teladan dan cinta kasih. Dalam dunia yang penuh kebisingan populisme dan retorika kebencian, suara Fransiskus adalah suara nurani yang tenang namun tegas, mengajak untuk kembali ke nilai dasar kemanusiaan.

Kini, dunia kehilangan salah satu penyeimbangnya. Kepergiannya menyisakan pertanyaan besar: siapa yang akan melanjutkan suara moral ini? Siapa yang akan berbicara untuk mereka yang tidak didengar, yang tersingkir dari sistem, yang dicampakkan oleh hukum dan kekuasaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun