Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) oleh DPR RI menandai titik balik penting dalam sejarah perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Selama puluhan tahun, pekerja migran---yang sering disebut sebagai pahlawan devisa---bekerja dalam kondisi rawan dengan perlindungan hukum yang minim. Kini, dengan hadirnya regulasi baru ini, masyarakat kembali menaruh harapan besar agar negara hadir lebih aktif dalam menjaga keselamatan, kesejahteraan, dan martabat warganya yang berjuang di negeri orang.
Isu perlindungan PMI memang telah lama menjadi sorotan nasional dan internasional. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa setiap tahun ribuan PMI mengalami permasalahan, mulai dari upah yang tidak dibayar, kondisi kerja tidak manusiawi, hingga kekerasan fisik dan seksual. Kelemahan dalam sistem pengawasan dan lemahnya regulasi menjadi celah bagi berbagai bentuk eksploitasi dan pelanggaran hak. RUU ini diharapkan bisa menambal berbagai kekurangan tersebut, dan pada saat yang sama memperkuat posisi tawar PMI di luar negeri.
Salah satu kasus yang paling mengguncang publik adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih, pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalami kekerasan ekstrem dari majikannya di Hong Kong pada 2014. Erwiana disekap, tidak diberi makan layak, dipukul setiap hari, dan tidak dibayar. Saat akhirnya berhasil melarikan diri, tubuhnya penuh luka, dan berat badannya tinggal 25 kilogram. Kasus ini menjadi sorotan dunia dan bahkan disebut oleh Amnesty International sebagai bukti kegagalan negara dalam melindungi buruh migrannya. Peristiwa ini menjadi simbol luka mendalam dalam sejarah perlindungan PMI Indonesia.
Dengan disahkannya RUU ini, masyarakat kini menaruh harapan bahwa kasus-kasus seperti Erwiana tidak akan terulang lagi. Salah satu terobosan penting dalam RUU ini adalah penguatan tanggung jawab negara dalam setiap tahap migrasi kerja: dari pra-keberangkatan, saat bekerja, hingga pemulangan. Pemerintah pusat, daerah, serta perusahaan penempatan PMI kini diatur lebih ketat dengan mekanisme evaluasi, audit, dan sanksi yang jelas jika lalai dalam pelindungan. Tak hanya itu, PMI juga diwajibkan mendapatkan pelatihan, edukasi hukum, dan kontrak kerja yang transparan sebelum diberangkatkan.
Tanggapan publik terhadap pengesahan RUU ini sangat positif. Di berbagai media sosial, diskusi publik, hingga forum-forum komunitas diaspora Indonesia, terlihat optimisme baru tumbuh. Banyak keluarga PMI berharap bahwa ke depan, anak, saudara, atau pasangan mereka bisa bekerja di luar negeri dengan lebih aman dan bermartabat. Seiring dengan itu, muncul juga tuntutan agar pengawasan terhadap implementasi undang-undang ini dilakukan secara ketat.Masyarakat tidak ingin peraturan ini hanya bagus di atas kertas, tetapi kosong dalam praktik.
Menurut saya, Optimisme tersebut mulai menunjukkan hasil. Contoh nyata implementasi positif terjadi pada 2023, ketika seorang PMI asal Lombok mengalami pemutusan kontrak sepihak di Malaysia. Berkat sistem pengaduan yang lebih responsif dan koordinasi cepat antara Satgas Perlindungan PMI, KBRI, dan pemerintah daerah, kasus tersebut dapat diselesaikan secara damai. PMI tersebut mendapatkan hak-haknya kembali, serta dipulangkan dengan bantuan resmi dan trauma healing. Ini menunjukkan bahwa jika undang-undang diterapkan secara konsisten, perlindungan nyata dapat terwujud.
Meski begitu, tantangan masih banyak. Salah satunya adalah minimnya informasi yang sampai ke masyarakat akar rumput, terutama di daerah-daerah kantong migran seperti NTT, NTB, dan Jawa Timur. Sosialisasi tentang hak dan kewajiban, cara pengaduan, serta lembaga yang bisa diakses, masih perlu ditingkatkan. Selain itu, pengawasan terhadap perusahaan penempatan tenaga kerja (P3MI) juga harus lebih tegas, karena masih ditemukan praktik calo, pemalsuan dokumen, hingga perekrutan ilegal.
RUU ini juga menekankan pentingnya sinergi antar lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam praktiknya, koordinasi antar dinas tenaga kerja, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, BP2MI, serta kedutaan sering terhambat birokrasi dan tumpang tindih kewenangan. Oleh karena itu, reformasi tata kelola dan digitalisasi pelayanan menjadi langkah penting untuk menjadikan perlindungan PMI lebih efektif dan efisien. Di era digital, sistem satu pintu berbasis aplikasi dapat mempercepat proses, mengurangi pungli, dan meningkatkan transparansi.
Akhirnya, keberadaan RUU ini hanyalah pijakan awal. Undang-undang tidak akan berdampak jika tidak diiringi dengan kemauan politik, pengawasan masyarakat, dan partisipasi aktif semua pihak. Peran masyarakat sipil, media, LSM, serta organisasi diaspora Indonesia sangat penting untuk terus mengawal implementasinya. Sudah waktunya kita berhenti menutup mata terhadap penderitaan pekerja migran, dan mulai memperlakukan mereka sebagai warga negara seutuhnya, bukan sekadar pahlawan devisa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI