"Kenapa tidak makan tahunya?" Pertanyaan yang pasti kudengar jika bapak menemukan tahu itu di meja makan.
"Untuk bapak saja. Bapak butuh nutrisi."
"Kamu lebih butuh, Nisa. Otak kamu diperas untuk belajar, sedang bapak hanya mengeluarkan tenaga."
Ah, bapak. Kenapa selalu menjawab begitu. Padahal aku ingin bapak selalu sehat dan bugar. Meskipun hidup kami susah.
"Nis, maafkan bapak tidak bisa membahagiakan kamu."
Aku tersentak, andai saja bapak tahu. Aku lebih ingin membahagiakan beliau.
Sepotong tahu itu dimakan bapak dengan sepiring nasi. Rasa sedih membuat ia kesulitan menelan. Selama ini bapak selalu memperhatikan kebutuhanku dan mengabaikan dirinya. Demi kata yang ia ucapkan lirih di telinga ibu sebelum ia berpulang.
"Aku akan jaga Nisa, Maryam. Mendidik dan merawatnya dengan baik. Percayalah!"
Kepedihan atas kepergian ibu, membuat bapak takut melalaikan aku. Tapi, apa daya. Nasib baik belum kami raih. Hingga beberapa tahun setelah aku tamat kuliah, akhirnya Tuhan menjawab doa-doa kami. Aku berhasil mendirikan pabrik tahu rumahan.
Kini bukan hanya sepotong tahu, tapi sudah berkotak-kotak. Sayangnya, bapak tidak bisa menikmati keberhasilanku, karena Allah lebih mencintainya. Bapak meninggal karena asma yang ia derita.
****
Yang mau baca cerbung uni.
Klik hastag di bawah.
#Surga_yang_Tertunda
#Angela
#Rinai
#Suamiku_Untukmu
#Bait_Rindu_Hafsah
#Jebakan_Mertua