Di tengah kemudahan akses makanan saat ini, kita sering kali tidak menyadari bahwa apa yang kita konsumsi sehari-hari bisa menjadi ancaman bagi kesehatan. Makanan tidak lagi hanya soal rasa atau kenyang, tetapi juga tentang dampaknya terhadap tubuh dalam jangka panjang. Sayangnya, banyak makanan yang tampak biasa saja bahkan sering kita anggap sebagai bagian dari rutinitas sebenarnya membawa risiko besar jika dikonsumsi terus-menerus tanpa kontrol.
Makanan yang telah mengalami banyak proses industri, atau disebut sebagai makanan ultra-proses, semakin mendominasi rak-rak toko dan menu sehari-hari masyarakat. Dari mi instan, sosis, hingga minuman berpemanis buatan, semua tampak praktis dan menggugah selera. Namun di balik kepraktisan itu tersembunyi bahaya yang nyata. Makanan jenis ini mengandung berbagai zat aditif, pemanis buatan, pengawet, serta lemak trans yang semuanya bisa memicu berbagai penyakit kronis seperti obesitas, diabetes tipe 2, bahkan gangguan kesehatan mental.
Di sisi lain, kita juga semakin akrab dengan konsumsi gula berlebih. Bukan hanya dari makanan manis seperti permen atau kue, tetapi juga dari minuman yang kita anggap biasa seperti teh dalam kemasan, kopi kekinian, atau bahkan saus botolan. Konsumsi gula berlebihan secara perlahan dapat merusak metabolisme tubuh, meningkatkan risiko resistensi insulin, merusak gigi, serta menimbulkan efek kecanduan yang sering kali tak disadari. Ironisnya, rasa manis yang menyenangkan di mulut itu bisa menjadi awal dari berbagai komplikasi kesehatan yang serius.
Tak hanya gula, kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi garam dan digoreng dalam minyak yang dipakai berulang kali juga memberi kontribusi besar terhadap gangguan kesehatan. Tekanan darah tinggi, stroke, dan penyakit jantung menjadi ancaman nyata bagi mereka yang tak mengontrol konsumsi makanan asin dan gorengan. Di banyak tempat, jajanan pinggir jalan masih menggunakan minyak jelantah minyak goreng bekas yang telah dipakai berkali-kali yang mengandung senyawa berbahaya seperti radikal bebas dan zat karsinogenik yang berpotensi memicu kanker.
Lebih mengkhawatirkan lagi, masih ditemukan praktik penggunaan zat kimia berbahaya pada makanan, terutama jajanan pasar atau makanan murah meriah yang menyasar anak-anak dan masyarakat bawah. Penggunaan formalin untuk mengawetkan mie basah atau tahu, serta boraks pada bakso dan kerupuk, adalah contoh nyata betapa lemahnya pengawasan terhadap keamanan pangan. Pewarna tekstil seperti Rhodamin B pun masih kerap ditemukan pada jajanan yang mencolok warnanya, tanpa disadari membahayakan organ tubuh dari waktu ke waktu.
Meski semua itu terdengar menakutkan, bukan berarti kita harus hidup dalam ketakutan terhadap makanan. Kuncinya adalah kesadaran dan keseimbangan. Kita bisa tetap menikmati makanan favorit, asalkan tahu batasnya dan tidak menjadikannya kebiasaan harian. Mengganti makanan cepat saji dengan masakan rumah, memperbanyak konsumsi sayur dan buah, serta membiasakan membaca label kemasan bisa menjadi langkah awal menuju pola makan yang lebih sehat.
Makanan memang bisa menjadi obat, tapi juga bisa menjadi racun. Semua tergantung bagaimana kita memperlakukan apa yang kita makan. Dan pada akhirnya, kesehatan bukan hanya ditentukan oleh apa yang kita hindari, tapi juga oleh apa yang kita pilih setiap hari untuk masuk ke dalam tubuh.
Jadi, sebelum kita menyantap makanan berikutnya, mungkin ada baiknya bertanya: "Apakah ini akan memberi energi dan kesehatan? Atau justru menjadi bom waktu dalam tubuh saya?" Pilihannya selalu ada di tangan kita dan semua dimulai dari piring makan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI