Awai menggigil mendengar omogan Hsu Natan. Ia mulai merasa hidupnya terancam. Benarkah jika hutang ibunya semakin membesar, ia akan dijadikan alat untuk membayar hutang?
Untuk menghindari Tiong It, Awai tak berani ke dermaga Sungai Alam. Pulang kerja ia singgah ke kantor pelayaran tempat Akian bekerja. Ia mengajak Akian duduk di dermaga penumpang. Jam 6.30, semua kapal ditambat ke kandang. Dermaga sepi. Awai menceritakan hutang ibu mereka. Akian tak terlihat kaget ketika mendengar cerita Awai.
" Bagaimana membayar hutang-hutang mama?" tanya Awai ketika melihat Akian diam saja.
" Aku tak tahu, Awai. Aku tak punya uang sebanyak itu, aku bahkan belum menabung untuk pernikahanku."
Awai tercenung mendengarnya. Sebentar lagi usia Akian 22 tahun, umur yang pantas untuk menikah. Kalau Akian menikah, semua tanggung jawab atas hutang  ibu mereka akan jatuh ke pundak Awai. Istri memegang uang suami. Gaji Akian nanti pasti dipegang istrinya. Awai merasa sebuah gunung tumbuh dan menghimpitnya.
" Siapa nama bandar judi ?" tanya Awai.
" Namanya  Ban Libu. "
" Di mana dia tinggal,"
Akian membaca niat Awai." Tidak. Jangan menemuinya. Aku tak ingin kamu celaka." Wajah Akian menunjukkan kecemasan.
" Aku hanya ingin berbicara dengannya tentang hutang mama. Aku ingin meminta keringanan." Cetus Awai.
" Tak ada gunanya. Libu bukan orang yang menggunakan perasaan saat berbicara. Tak ada yang berani menentangnya. Ia tak punya keluarga disini, tapi istrinya banyak. "