Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 99-101

11 Mei 2018   05:52 Diperbarui: 11 Mei 2018   08:31 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemakanan itu terletak di sebelah kiri jalan utama menuju Desa Selatbaru. Siang jalan itu tak pernah sepi, tapi di malam hari sepi mencekam. Rumah penduduk letaknya jauh dari Pemakaman. Bunyi burung hantu bersahut-sahutan terdengar menegakkan bulu roma.

Celakanya Tiong It tidak membawa senter. Tapi untungnya di pintu pemakaman terdapat 2 lampu merkuri yang menyinar ke dalam, satu tiang listrik menghadap ke jalan, di bawahnya ada neon sepanjang satu meter membuat suasana di sekitar pemakanan terlihat terang benderang. Tiong It menyandar sepeda di pintu pagar agar kalau mau pulang gampang mengambilnya. 

Suasana kuburan menimbulkan kesan seram, menciptakan nuansa mistis, dan membuat hati berdebar tak karuan. Tiong It merangkap tangan ke dada, membaca doa, memohon Tuhan agar memberkatinya agar bisa menemukan kuburan Soraya Hanifa serta memetik setangkai bunga ros tanpa terluka. Ia berjalan hati-hati, jangan sampai salah injak terinjak makam seseorang. Ada jalan setapak, tapi lebarnya hanya 50 cm. Diperiksanya nisan satu per satu, ada yang tulisannya masih jelas, ada yang tanpa nisan.

Kukuku bluk ... Kukuku bluk...

Burung hantu terbang dari sisi satu ke sisi lain, membuat jantung Tiong It serasa copot. Untungnya burung hantu itu tidak menyerangnya, hanya terbang akibat kaget melihat daerah kekuasaannya diintrupsi manusia di tengah malam. Tiong It meneruskan memeriksa satu per satu nisan. Sebetulnya jantungnya berdebar tak karuan, hatinya ketar-ketir, tangannya menggigil, namun demi mendapatkan cinta Awai, bahaya apapun akan dijalaninya. Hingga menjelang ujung, ia melihat sebuah nisan yang bertuliskan Soraya Hanifa, lahir 20 Juli 1943, Meninggal 12 Desember 1973. 

Di depan nisan itu, hanya ada setangkai bunga ros tegak menjulang setinggi 30 cm. Setangkai, mirip ditancapkan, dan bunganya masih segar, seakan baru belum lama ditancapkan. Tidak ada pohon mawar sebatang pun di kuburan Itu. Tiong It sempat terbengong. Kenapa ada bunga tak ada batangnya ? Kenapa hanya setangkai ? Ia merunduk, mengamati tangkai yang tertancap di tanah. Ia memegang dengan 2 jari di bagian yang tidak berduri. Dicabutnya tangkai itu. Tangkai itu geming. Tiong It mengerahkan tenaga lebih banyak, namun tangkai itu tetap geming.

" Memetik, bukan mencabut !"

Tiong It terlonjak dan melepaskan tangkai itu. Ia seakan ditegur akibat berbuat curang. " Maaf..." gumannya lirih. Suara yang didengarnya mirip suara wanita yang ditemui di ujung jalan Rumbia. Kali ini ia berusaha mematahkan tangkai itu. Tangkai itu memang patah, tapi kulitnya tidak putus. Tiong It menarik tangkai itu, tapi kulit tangkai itu tetap tak putus.

" Dengan niat, bukan dengan tenaga !"

Kali ini Tiong It tidak terlalu kaget. Ia percaya Makcik Ros sedang berusaha membantunya, bukan menegurnya.

" Dengan setulus hati kupetik bunga ini, akan kupersembahkan pada Tan Hua Wai untuk berdamai dengannya. Jika kelak ia menjadi istriku, aku akan menjaganya dengan sepenuh hati, mencintainya dengan sepenuh hati, takkan membiarkan hatinya terluka. Aku akan berusaha membahagiakannya sepanjang hidupnya." Setelah berkata demikian, ia menarik tangkai itu, tangkai itu terlepas dengan mudah. Tiong It lega. Tangannya tidak terluka. Ia berdiri, merangkap tangan di dada, berdoa di depan pusara. Setelah itu, ia berjalan menuju gerbang pemakaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun