Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Pelukan Terakhir

25 Agustus 2019   05:34 Diperbarui: 8 Mei 2023   21:48 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya aku di sini. Menginjakkan kedua kaki di kota pantaimu yang dulu selalu kau banggakan, yang selalu kau bicarakan dengan berapi-api. Kau benar, tempatmu indah, namun akan lebih indah jika kau masih milikku dan semua ini bisa bersama kita nikmati. Mataku menyapu seluruh suasana pantai pagi itu dari balkon penginapan. Lautan yang membentang tenang di kejauhan hanya membuatku termangu. Apa kabarmu, Damar? Hatiku tiba-tiba meratap. Aku merindukanmu.

"Ras, tour guide-nya sudah datang." suara Guntur membuatku kaget. Pria jangkung berambut kribo itu sudah berdiri di depan pintu kamarku yang memang sengaja kubiarkan terbuka, lengkap dengan tas ransel dekilnya yang besar berwarna hitam. 

"Oke." ucapku seraya menyambar topi dan kamera compact yang sudah kupersiapkan dari tadi di atas meja bundar di dekat televisi. Kuambil tas kecilku lalu segera keluar dan menutup pintu kamar. 

Sudah sejak kemarin aku dan Guntur berada di kota Tanjung Pandan yang hari ini langitnya sedikit berawan. Guntur adalah mantan pacar salah satu teman karibku ketika kuliah. Ia masih mengenaliku ketika melihatku menunggu bus kota di Terminal Kampung Rambutan suatu sore, hampir dua tahun yang lalu. 

Kami bertukar nomor kontak, saling menyapa lewat pesan singkat hingga menjadi akrab. Ia menggilai fotografi. Tiga tahun sudah pria yang seumur denganku itu bekerja sebagai seorang fotografer freelance, sering jalan-jalan ke luar kota bahkan luar negeri untuk memotret. Favoritnya, foto-foto pantai dan lautan. 

Suatu ketika ia memintaku menemaninya ke provinsi kepulauan ini untuk mengabadikan alam pantai dan mencari inspirasi baru untuk hasratnya itu. Sama halnya denganku, ia mengaku belum pernah ke sana dan baru mengenal keindahan alamnya melalui foto serta omongan teman-temannya.

Ketika itu aku mengiyakan pemintaannya dengan sebuah perasaan yang mengganjal. Perasaan yang tiba-tiba bergolak hebat membuat mual perut dan pikiranku. Apakah karena tempat itu adalah kota kelahiran Damar? Apakah kini ia tinggal di sana? Masa iya aku akan ketemu Damar di sana? Ah, kurasa dunia belum sesempit itu. 

Tapi bagaimana jika nanti aku melihatnya bersama seorang perempuan yang mungkin istrinya? Bagaimana jika nanti aku menyaksikan ia tengah bermain bola di pantai bersama anak-anaknya? Bagaimana jika nanti aku harus menerima kenyataan kalau ia sudah melupakan aku, mau dibuang ke mana perasaanku? Bagaimana, bagaimana, bagaimana? Semua kata tanya 'bagaimana' mendidih di pikiranku yang akhirnya malah menghasilkan uap-uap rasa rindu kepadanya, Damarlangit, cinta pertamaku.

"Tour guide-nya pak Imran, kan yang kemarin jemput kita di bandara?" tanyaku ketika kami berjalan menuju lobi penginapan karena sang pemandu wisata telah menanti di sana.

"Bukan. Kemarin Pak Imran hanya disuruh jemput." jawab Guntur sambil menggantungkan tali kamera Nikon D850-nya di pundak kiri. Seketika jantungku berdebar kencang mendengar jawaban Guntur barusan. Aku mulai merasa tidak enak dan benar-benar tak mengerti kenapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun