Yang seharusnya menegakkan hukum ternyata 'pengaman' dari para pelanggar hukum, mafia hukum. Seperti memberantas preman, padahal dia preman nomor satu. Sedangkan masyarakat kelas bawah cukup dikibuli dengan pencitraan.
Hukum seperti sandiwara yang bisa diatur skenarionya, dengan cara sogok sana, kasih amplop ke sini. Dengan permainan kata dan silat lidah. Dengan lobi-lobi di belakang layar. Dengan bermain dan mempermainkan pasal-pasal. Hukum bisa dibuatkan untuk kepentingan 'korporasi' dan regulasi bisa 'dipesan'. Suara kritis bisa dibungkam dengan amplop. Hukum adalah industri.
Dalam suatu organisasi kapitalis berciri feodal, asas manfaat adalah prinsip pertama dalam membina relasi sosial. Manusia tidak lebih dari alat produksi. Loyalitas dan dedikasi bisa hambur bagai debu.
Pertemanan dan persahabatan seakan berubah menjadi arena perpolitikan. Asas manfaat yang mestinya berdimensi dunia-akhirat menciut menjadi kepentingan naik pangkat, kompetisi nama baik, persaingan dan akumulasi prestasi pribadi, di saat ini dan di sini.
Karena itu, menjilat dan mencari muka menjadi kultur yang mendarah daging. Yang terpenting adalah keselamatan dan reputasi pribadi. Kawan sendiri tak apalah dijatuhkan, demi meraih ridho direksi.
Kultur negatif ini bukan tidak bisa di-recovery, selama masih ada hati nurani. Nurani yang tumpul butuh diperbarui, pertama -tama dengan mengakui kesalahan dan selanjutnya adalah revolusi struktural alias penjungkirbalikan budaya lama secara total dan murni.
Jika tidak, akibat dan kenyataan pahit jua terpaksa ditelan sebagai pengalaman, yang  harganya kelewat mahal.
Wallahu a'lam.
Â