Mohon tunggu...
Deny Papanya Deandra
Deny Papanya Deandra Mohon Tunggu... -

Kerja di finance, orang yang humoris dan rada gokilz, mendirikan group d'gokilz land samarinda (facebook), dan aktif menulis, aktif selingkuh dan otak rada sedikit kena pengaruh radio aktif.. karena pernah di culik alien..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sungai Hitam Kehidupan

6 Juli 2011   05:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1309930118982837668

Yahya berlari pada bapaknya.., berteriak sekeras mungkin bahkan sebelum dia melihat wajah bapaknya menoleh kepadanya…

“Bapaaaakkkkkkk……… “ , sekejap ia memeluk bapaknya dari belakang sambil menempelkan pipi wajahnya kepundak lelaki yang sedang duduk di kursi taman itu.

Sang lelaki terkejut pasi, refleksnya memutar badan dan melihat siapa anak kecil yang telah mendekapnya dari belakang.. masih dalam posisi duduk namun memasang wajah awas… di perhatikannya wajah anak itu yang tersenyum dan tetap berusaha memeluknya.. lalu sekilas menepisnya berdiri dan undur selangkah.. membuat pelukan yahya terlepas.. dan kursi taman menjadi pembatas keduanya..

Lelaki paruh baya itu mengernyitkan dahi dan berucap meninggi.. “Heh! Siapa kamu! Peluk2 sembarangan!” , hardiknya pada yahya yang terus tersenyum sambil berjalan mundur…

Yahya tidak menjawab, anak umur 6 tahun itu memutar tubuh mungil kurusnya, berlari, lalu sekali menoleh dengan tawanya ke arah lelaki tadi yang masih tetap berdiri memandangnya.. dan si yahya kecil teriak lagi sambil melambai-lambaikan tangannya…“ Dadaahhh pakk… yaya pulang pak.. cepat nyusul ya pakkkkk…. Yaya tungguuu..“

Di kebingungan lelaki itu memandang, yahya kecil telah hilang dari pandangan, pulang mungkin, ke  pemukiman kumuh disisi sungai dekat sebuah jembatan yang disebutnya “rumah”.

Yah.. lelaki itu memang bukan ayahnya, bukan siapa-siapa yang dikenalnya bahkan,.. dia hanya selalu melakukan itu sejak setahun lalu pada orang yang sedang duduk ditaman diseberang jembatan tak jauh dari tempat dimana ia menetap semenjak lahir..

“Mak.. dimana bapak?” , pernah tanyanya lugu ketika menemani ibunya mencuci di hitamnya air sungai yang sebenarnya telah tak layak digunakan.

“Yaya, Jangan tanya mulu nak.. Nggak tau mak mana bapakmu.. terakhir mak tau, dia sedang duduk di taman sono waktu malem kamu lahir, trus besoknyamak udah nggak pernah liat lagi… nggak tau mati.. nggak tau idup.. ” , jelas ibunya.

Mungkin itulah yang tertanam dalam otak yahya, hingga tiap kali ada pria paruh baya duduk di kursi taman yang ditunjuk maknya, dia lalu berusaha memeluk mereka dari belakang, entah berharap salah satu dari mereka adalah benar ayahnya, atau hanya sekedar ingin merasakan hangatnya tubuh seorang ayah yang tak pernah didekapnya semenjak lahir.

Ayah yang mungkin tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa di sulitnya hidup, harus mendapatkan seorang anak yang tak mampu di anggapnya sebagai karunia dan pemberian Tuhan. Ayah yang berlari menghindar dari kerasnya tanggung jawab. Namun tetap ayah yang didambakan olehnya untuk dapat membalas pelukannya suatu hari kelak dan yahya memaafkan semuanya.

..........................

Yahya memandang pinggiran sungai berair hitamdari atas jembatan tak jauh dari tempat ia memarkir mobilnya. Masih jelas diingatannya 15 tahun lalu, dirinya masih tinggal disisi sungai itu. Tempat terakhir dimana ia mendekap tubuh ibunya yang dingin membeku, saat ajal telah datang menjemput dan hanya ia satu-satunya yang berada disisi ibunya.

Subuh itu, yahya ingat betul apa yang terjadi saat usianya 7 tahun, tubuh ibunya yang telah lemah karena sakit panjang yang dideritanya, yahya sendiri tak mengerti apa yang diderita ibunya, hanya dua butir obat sakit kepala yang di belinya di warung setelah ikut teman-temannya mengamen semalaman di perempatan jalan yang sanggup ia berikan dengan tubuh dan usia kecilnya.

“Ya’.. Mak kedinginan.. dekep mak yah..” , ucap ibunya parau lemah, dan yahya mengangguk, mendekati ibunya, mendekapnya erat, kakinya menempel pada kaki ibunya yang dingin seperti es..

Ibunya mengambil sesuatu dari bawah bantal perca tipisnya, sebuah Al Qur’an lusuh, yang mungkin usianya lebih tua dari yahya..

“Mak gak punya apa-apa nak, cuma ini pegangan mak selama ini, saat mak sedih, saat mak marah, atau saat mak hampir putus asa, mak selalu berpegangan ama ini.. dan mak selalu ingat kamu.. “ , bulir air mata tipis mulai mengalir disudut mata ibunya yang terlihat sangat lelah..

Kelelahan seorang ibu yang telah membesarkan anaknya seorang diri, kekuatan yang tiada banding demi kehidupannya dan buah hatinya, semampunya memberikan apa yang sanggup ia perjuangkan.. sungguh semua itu tergambar di wajah dan matanya yang beranjak layu..

“Mak mau tidur lama-lama ya nak, jangan bangunin mak, ingat.. Kamu harus jadi’in Al Qur’an ini satu-satunya harta kamu yang paling berharga, pegang teguh dan kuasai isinya.. amalin dengan bener, dengan begitu mak akan bangga ama kamu nak.. “ , ucap terakhir maknya waktu itu dengan isak tangis pelan, seolah tau, esok takkan berucap lagi..

Dan setelahnya, dalam peluk anaknya, ia tertidur, hingga esok paginya, yahya terbangun dan dengan susah payah melepaskan diri dari tubuh kaku maknya, yang tak lagi bangun.

Setelah kepergian ibunya, yahya masih tetap tinggal di situ, sisi sungai dekat taman, karena dia memang tidak punya siapa-siapa lagi, setiap hari hanya mengamen dengan teman-temannya untuk sekedar mengisi perut saat lapar.

Kini usianya telah 22 tahun, ia berdiri dengan tubuhnya yang tak lagi kurus mungil, kini ia tegap, berpakaian rapi, ia kini seorang lulusan negara kairo di bidang agama, dan kini telah menjadi seorang da’i terkenal.

Dijembatan itu saat ini ia mengingat detil demi detil hidupnya yang keras semasa kecil, hingga suatu hari, seorang pria paruh baya duduk di kursi taman, dan ia kembali memeluknya dari belakang, namun kali itu bukan hardikan yang ia terima seperti biasanya,

Lelaki itu berbalik badan, tersenyum, dan menarik lengannya lembut mengajak duduk disisinya, membelai hangat rambut di kepalanya, lalu ngobrol hangat kebapakan..

Itulah awal kehidupan barunya, dimana ternyata orang tersebut adalah salah seorang ustadz di salah satu pondok pesantren di daerah, yang pada saat itu juga mengajaknya untuk ikut tinggal dengannya, menganggapnya sebagai anak, membesarkannya, mengajarkan ilmu agama, menyekolahkannya di pesantren tersebut, hingga ia mendapatkan beasiswa ke kairo untuk menyelesaikan studi perguruan tingginya.. hingga pada hari ini yahya telah berubah menjadi orang.., orang yang dapat di banggakan..

Yahya tak berucap apa-apa, ia menghapus kerling bening disudut matanya, rasa kangennya pada bau sungai berair hitam, tempat ia menghabiskan banyak kenangan pahit masa kecil, telah pupus, ia tersenyum, lalu beranjak dari jembatan itu kembali ke mobilnya.

Masuk ke dalam mobil, didapatinya istrinya tersenyum, dikursi belakang kedua putra-putrinyapun tersenyum, istrinya memeluk sebuah Al Qur’an lusuh, Itu peninggalan satu-satunya dari ibunya dulu sebelum meninggal dunia.. dan masih di jaganya hingga kini.

Yahyapun tersenyum, memutar kunci mobilnya hingga mesin menyala,. “Sekarang, kita kunjungi kuburan nenek, kita kirim do’a disana, OK !”

“OK Yahhh.... “, sahut anak-anaknya penuh riang... dan senyum istrinya yang tak pernah pudar.

Ini adalah cerita hidup yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya, bahkan direncanakanpun tidak, bahwa hidup mengalir seperti sungai, yang sesaat berair hitam dan bau, namun akhirnya saat telah bergabung dengan muara hingga ke lautan, ia takkan selamanya hitam, salah satu bukti bahwa Tuhan itu ada, Maha melihat, dan Maha Adil terhadap hamba-hambanya.

TAMAT.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun