Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Chicken Porridge for The Soul"

23 November 2017   22:41 Diperbarui: 24 November 2017   05:24 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chicken porridge (sumber: www.favim.com)

Belakangan ini saya memiliki kebiasaan baru di pagi hari, sarapan bubur ayam. Mungkin terdengar sepele, tapi bagi orang yang moody seperti saya, menyantap semangkuk bubur sebagai menu pembuka aktifitas sangatlah spesial. Apalagi bubur juga merupakan salah satu khasanah kuliner nusantara.

Dulu saya jarang banget sarapan. Biasanya hanya ngemil gorengan atau roti dengan segelas susu atau teh manis hangat (anyway, i don't like coffee). Terkadang saya bisa makan berat langsung dengan menu seperti nasi uduk, lontong sayur atau bakmi. Faktor pekerjaan yang butuh tenaga besar membuat saya wajib mengonsumsi makanan berat sebagai asupan energi. Saya menghindari menu bubur ayam karena dua hal. Pertama, perut saya hanya bertahan sampai jam 10 pagi jika hanya nyabu (nyarap bubur). Kedua, saya penggila sate jeroannya. Jadilah setiap kali makan saya bisa nyomot 2-4 sate sekaligus yang menyebabkan anggaran sarapan membengkak. Duit segitu sih bisa buat beli sarapan lain yang lebih mengenyangkan.

Namun akhir-akhir ini, setelah berganti status dari kuli menjadi freelancer, saya lebih sering mengonsumsi bubur sebagai menu sarapan. Sebelum beraktifitas saya selalu menyempatkan untuk makan pagi. Kebetulan di dekat rumah ada banyak pedagang bubur dari yang jualan pake meja, sepeda sampai gerobak. Hampir setiap pagi menyantapnya membuat saya akhirnya menyadari suatu pelajaran yang menginspirasi tentang salah satu penganan dari olahan beras ini.

"Hidup itu seperti semangkuk bubur"

Kalimat diatas jelas bukan diucapkan oleh bapak Mario Teguh. Namun saya mendapat suntikan motivasi dari kisah semangkuk bubur. Kisah dan pelajaran yang bisa kita ambil agar menjadi lebih baik lagi di masa depan.

Kala nasi sudah menjadi bubur (sumber: www.hellosehat.com)
Kala nasi sudah menjadi bubur (sumber: www.hellosehat.com)
Pernahkah Anda mendengar peribahasa "nasi sudah menjadi bubur"? Artinya adalah, terkadang ada sesuatu momen dalam hidup kita yang akhirnya berakhir tidak baik. Sesuatu yang sudah terjadi, ya terjadilah. Contohnya bangun kesiangan yang berimbas pada terjebak macet dan terlambat masuk kantor. Nasi sudah menjadi bubur. Akibat lupa bangun pagi akan muncul rentetan kejadian tak mengenakan seperti kisah diatas.

Itu hanyalah contoh sederhana. Bayangkan bila terjadi pada hal-hal yang lebih penting baik dalam studi, kesehatan, karir ataupun jodoh. Saya pribadi pernah mengalami apa yang namanya 'nasi sudah menjadi bubur' karena pilihan-pilihan yang saya buat. Bagaimana ketika saya menolak kesempatan untuk belajar lagi, menolak tawaran pekerjaan bergaji tinggi sampai menolak wanita yang terang-terangan mengungkapkan perasaannya lebih dulu (dan bulan kemarin ia baru saja sah di-taken oleh orang lain. Hahahaha).

Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa saya sesali. Toh menyesal sekarang juga tidak ada gunanya karena sudah terlambat. Memang benar jika hidup sama seperti semangkuk bubur. Pilihan, keputusan dan kekeliruan yang kita buat pada akhirnya memberi kita pelajaran. Layaknya seseorang yang ingin makan nasi dan memasaknya tapi ia kebablasan dan akhirnya nasi tersebut berubah menjadi bubur.

Bubur dan jeroannya (sumber: www.zomato.com)
Bubur dan jeroannya (sumber: www.zomato.com)
Menikmati semangkuk bubur

"Nasi udah jadi bubur, yah lu makan aja. Kalo kurang enak tambahin ayam, kecap, sambel atau emping."

Itulah saran seorang kawan beberapa tahun silam yang menggunakan perumpamaan bubur untuk move on (dari problema kehidupan ya, bukan masalah percintaan).

Jika kita dihadapkan pada situasi nasi sudah menjadi bubur, ya enakin aja. Nikmati setiap kesalahan itu dan cobalah untuk menambahkan senyum, tawa dan optimisme. Sama seperti bubur yang diberi topping bervariasi seperti kacang, cakwe, suwiran ayam, seledri, kerupuk, dll.

Btw, pernahkah Anda berpikir bagaimana jika semua condiment dan topping-topping tersebut ditambahkan pada sepiring nasi. Jadilah nasi ditaburi seledri, cakwe, ayam, bawang goreng dan dibumbui kecap asin dan kecap manis. Duh, membayangkannya saja sudah ilfeel duluan apalagi jika memakannya. Bahan pelengkap bubur jelas bukan lauk pauk nasi!

Bubur ayam (sumber: www.infokuliner.com)
Bubur ayam (sumber: www.infokuliner.com)
Itulah keistimewaan bubur dengan topping-nya yang khas. Sama seperti masa-masa terburuk dalam hidup kita. Mungkin ada beberapa kisah indah yang hanya terjadi untuk melengkapi sekaligus mengobati, pada saat kita sedang terjatuh atau mengalami kekeliruan dalam hidup. Tak perlu dijelaskan, cukup simpan dalam hati karena saya yakin setiap dari kita memiliki 'topping' masing-masing. Layaknya topping bubur yang menambah kelezatannya.

Polemik diaduk atau tidak diaduk

Beberapa waktu lalu ramai di media sosial mengenai bubur diaduk atau tidak diaduk. Sebenarnya mau diaduk atau tidak, bubur tetaplah bubur. Namun saya pribadi lebih suka mengaduknya. Alasannya sederhana. Sama seperti bahan tambahan dan topping bubur, cara menikmatinya adalah dengan mengaduk semuanya karena itulah membedakannya dengan nasi. Jujur deh, seberapa banyaknya lauk saya tidak pernah mengaduk-aduknya bersama nasi, bahkan saat makan di warteg atau rumah sekalipun.

Memang ada yang menikmati bubur dengan cara tidak mengaduknya dan mengambil lapisan paling dalam baru kemudian 'lauk'-nya. Namun disinilah saya kembali belajar pada semangkuk bubur. Rasa asin dari kaldu, manis dari kecap, pedas pada sambal atau pahit pada bahan pelengkap lainnya sama seperti momen-momen dalam hidup kita, baik saat senang, sedih, bahagia, kecewa, marah, suka, duka atau bersemangat.

Bukankah lebih nikmat jika menyatukan semuanya? Menyatukan setiap perasaan senang maupun sedih karena seperti itulah hidup. Kita tidak bisa memilih mau senang saja dan tidak mau berduka. Begitu juga dengan cara makan bubur. Bagi saya lebih nikmat jika menyatukan dan mengaduknya sebelum disantap. Karena saya tidak bisa memilih mau mencicipi yang asin-asin saja atau yang pedas saja. Segala sesuatu harus seimbang.

Semangkuk bubur untuk jiwa Anda (sumber: www.wikimedia.org)
Semangkuk bubur untuk jiwa Anda (sumber: www.wikimedia.org)
Cerita semangkuk bubur

Food tells everything. Dari makanan kita bisa mempelajari banyak hal. Mulai dari asal usulnya, komposisi atau bahan utamanya, kandungan gizinya, sampai yang bersifat filosofis seperti inspirasi yang bisa kita dapatkan dari makanan tersebut.

Anyway, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Anda yang sudi meluangkan waktunya untuk membaca cerpen gak penting milik saya. Ini hanyalah cerita random pengisi waktu luang, ditambah saya sudah jarang menulis artikel berdasarkan pemikiran pribadi (maklum, banyak setoran blog review dan ngebut ngerjain blog competition).

Sebagai penutup, saya sedikit bingung memberi judul yang pas untuk artikel ini. Dengan menyadur dan memelintir satu kata saja, semoga semangkuk bubur bisa menjadi inspirasi dan menyegarkan jiwa, hati dan pikiran Anda.

Salam hangat,

dari si penikmat bubur..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun