Mohon tunggu...
Denny Usman
Denny Usman Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta

Seorang pemuda yang suka terhadap dunia Travelling dan Pecinta Alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kampus sebagai Miniatur Keindonesiaan

26 Juni 2023   17:23 Diperbarui: 26 Juni 2023   17:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kampus sebagaimana kita ketahui tidak hanya mengakomodir mahasiswa yang berasal dari wilayah dimana kampus itu berada. Universitas Muhammadiyah Jakarta merupakan salah satu kampus yang dihuni oleh puluhan ribu mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Persebaran daerah asal mahasiswa menjadikan UMJ layak dikatakan sebagai miniatur ke-Indonesiaan, karena dihuni oleh insan dengan berbagai latar belakang sosial budaya, agama, suku bangsa, dan adat-istiadat yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia. Untuk menjelaskan posisi kampus sebagai miniatur ke-Indonesiaan, maka perlu dikaji terlebih dahulu persepsi mahasiswa akan keberagaman.

Sebagian besar mahasiswa memandang pluralisme sebagai suatu paham yang menghargai adanya perbedaan di tengah kesamaan yang ada. Hal tersebut terealisasi dalam kehidupan keseharian masyarakat, terutama dalam menghargai perbedaan agama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Konsepsi bhinneka tunggal ika harus sejalan dengan paham multikulturalisme yang mengajarkan bahwa terdapat satu benang merah (persamaan) di tengah perbedaan. Pluralis-me harus dimaknai sebagai kesediaan untuk menerima keberagaman, menjunjung toleransi dan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan suku, ras, agama, golongan, adat-istiadat, bahkan status sosial dan pandangan hidup.

Konsepsi pluralisme tidak hanya berlaku sempit, dalam arti hanya berkutat pada pengakuan adanya keberagaman agama, suku bangsa, dan etnis dalam masyarakat. Lebih daripada itu, pluralisme termasuk di dalamnya pengakuan akan adanya keberagaman dalam berpikir dan bertindak. Karena itu, untuk mencapai pluralisme diperlukan kematangan dari kepribadian sese-orang dan/atau sekelompok orang.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil wawancara yang dilakukan, peneliti kemudian menyebarkan angket kepada 104 mahasiswa yang dipilih secara acak. Lima pernyataan yang diajukan antara lain: 1) mampu berteman tanpa memandang perbedaan etnis, agama, dan adat-istiadat; 2) keragaman agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, dan nilai-nilai tradisional merupakan kekayaan bangsa Indonesia; 3) Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciri karakteristik bangsa yang harus dijunjung tinggi; 4) pluralisme mengajarkan sikap menghormati dan menghargai perbedaan; dan 5) kekayaan budaya lokal yang dimiliki Indonesia akan mendorong ke arah kemajuan. Berikut merupakan data yang terhimpun.

Kesatu, sebanyak 94,9% mahasiswa memandang bahwa jalinan pertemanan dilakukan tanpa memandang perbedaan etnis, agama, dan adat-istiadat. Kedua, sebanyak 83,7% memandang keberagaman agama dan keyakinan, budaya, adat istiadat, dan nilai-nilai tradisional merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Ketiga, sebanyak 84,7% memandang Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciri karakteristik bangsa yang harus dijunjung tinggi. Keempat, sebanyak 83,6% memandang pluralisme mengajarkan mahasiswa untuk menghormati dan menghargai perbedaan. Kelima, sebanyak 71,2% mahasiswa menolak etnosentrisme yang mengunggulkan kebudayaan-nya sendiri, sebaliknya mereka memahami bahwa dengan kekayaan budaya lokal lah Indonesia akan menuju ke arah kemajuan.

Data di atas diperkuat dengan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap kehidupan keseharian mahasiswa di kampus. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, utamanya dari cara berinteraksi antarsesama, menunjukkan bahwa mahasiswa sudah mampu berbaur dengan sesama tanpa sekat perbedaan, baik perbedaan etnis, agama, maupun latar belakang sosial budaya.

Berangkat dari data di atas, maka secara umum mahasiswa sudah mampu memaknai keberagaman sebagai sesuatu yang lumrah, tidak menjadi jurang pemisah untuk berinteraksi. Bahkan keberagaman etnis, suku bangsa, budaya, dan bahasa daerah pun tidak lantas menjadikan mahasiswa berpandangan sempit akan budaya dan etnisnya sendiri, melainkan kekayaan dan karakteristik kebudayaan lokal menjadikan Indonesia sebagai sebuah entitas semakin kaya.

Hal ini menjadi suatu harapan baru untuk menjawab bahwa kampus saat ini masih menjalankan fungsinya sebagai penjaga nilai-nilai kebangsaan. Pemahaman atas pentingnya toleran-si mesti menjadi keniscayaan dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik. Hanya dengan cara itu, kehidupan ini akan lebih bermakna dan bermanfaat. Pemahaman akan keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif, dan aktif sosial perlu dibangun. Karena sejatinya tindakan itu berangkat dari cara pandang terhadap sesuatu, dalam hal ini persepsi mengenai keberagaman.

Pandangan tersebut memosisikan manusia sebagai pencipta realitas, terutama jika dilihat dari tafsir manusia atas fenomena yang tampak (Berger, 2013). Sejalan dengan itu, dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya (Bungin, 2011). Ini menunjukkan bahwa manusia dapat melakukan apapun, termasuk dalam mengkonstruksi realitas yang dipandang-nya menjadi sebuah pengetahuan baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain.

Multikulturalisme sebagai sebuah konsep berbangsa dan bernegara mensyaratkan masyarakat untuk bisa menerima dan memahami keberagaman sebagai realitas sosial yang terus berkembang, bertujuan mengakui keberadaan kaum minoritas, dan menjadi dasar kebijakan untuk mendamaikan konflik antara kelompok minoritas dengan mayoritas. Sebagaimana dikemukakan Nathan (2015) bahwa “we live in the world of three basic social facts, namely, (1) human diversity is inevitable, (2) we live in an ethical plural society and (3) we are interdependent beings”.

Implementasi pluralisme di perguruan tinggi bahkan lebih kompleks dari hanya berkutat pada perbedaan latar belakang sosial-budaya, agama, suku bangsa, dan adat-istiadat. Di kampus pemahaman akan adanya keberbedaan, diterjemahkan dengan berbagai aktivitas akademik, yakni dengan membangun suatu kesepahaman dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi tanpa menonjolkan perbedaan disiplin ilmu, sehingga tercipta suatu kolaborasi berbasis keilmuan yang lintas disiplin. Keberbedaan masing-masing disiplin ilmu tidak dipandang sebagai penghalang persatuan, melainkan justru saling melengkapi antar satu dan lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun