Mohon tunggu...
Denita Linggar Asmarani
Denita Linggar Asmarani Mohon Tunggu... Konselor SDM

Hobi banget mencoba resep masakan baru di tiktok

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Upah Minimum, Kesejahteraan Buruh, dan Jalan Tengah yang Terabaikan

2 Agustus 2025   11:58 Diperbarui: 2 Agustus 2025   11:56 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo buruh tuntut upah naik. [ sumber : inilah.com ]

Setiap akhir tahun, penetapan upah minimum di Indonesia selalu memantik polemik: unjuk rasa buruh, tekanan dari asosiasi pengusaha, dan keputusan pemerintah yang nyaris tidak pernah memuaskan semua pihak. Tahun berganti, debatnya tetap sama. Namun yang ironis, kesejahteraan buruh tidak banyak berubah.

Perdebatan soal upah minimum bukan sekadar angka. Ini adalah refleksi dari ketimpangan kekuasaan, kompleksitas ekonomi, dan lemahnya struktur dialog sosial. Maka, jika terus menyederhanakan isu ini menjadi "naik atau tidak naik", kita sedang mengabaikan akar masalah yang jauh lebih dalam.

Formula Baru dan Masalah Lama

Penerapan formula penghitungan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah (melalui PP No. 51 Tahun 2023) merupakan warisan logika Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah beralasan bahwa pendekatan ini lebih rasional dan mengurangi intervensi politik dalam penetapan upah.

Namun dalam praktiknya, formula ini dianggap terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak buruh secara menyeluruh. Banyak serikat pekerja menyebut kebijakan ini sebagai “legalisasi upah murah”, karena tak mampu mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup di kota-kota besar.

Di sisi lain, pengusaha—terutama dari sektor padat karya dan UMKM—menilai bahwa tuntutan kenaikan upah yang terlalu tinggi tidak sesuai dengan produktivitas, dan justru memicu pemutusan hubungan kerja atau relokasi industri ke daerah yang lebih murah. Di sinilah dilema besar itu muncul.

Upah Bukan Satu-satunya Jalan

Kita perlu mengubah paradigma bahwa upah minimum adalah satu-satunya alat untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Sebab kenyataannya, banyak pekerja di sektor informal, buruh kontrak, dan pekerja harian lepas bahkan tidak menikmati upah minimum sekalipun.

Kesejahteraan buruh sangat ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor: akses terhadap jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan), perumahan layak, transportasi publik yang terjangkau, hingga pelatihan peningkatan keterampilan. Tanpa kebijakan sosial yang holistik, menaikkan upah saja tidak akan menyelesaikan persoalan struktural.

Kita perlu belajar dari beberapa negara yang sukses membangun kesejahteraan pekerja bukan semata lewat upah tinggi, tapi melalui subsidi kebutuhan dasar dan investasi pada sumber daya manusia. Di banyak negara Eropa, misalnya, pekerja sektor publik dan swasta memperoleh berbagai tunjangan sosial di luar gaji. Hal ini menurunkan beban hidup sekaligus menjaga daya saing dunia usaha.

Perlu Reformasi Tripartit yang Sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun