Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Cita - Cita yang Perlahan Menjadi Kenyataan

30 September 2025   13:14 Diperbarui: 30 September 2025   13:14 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup sering kali dimulai dengan pertanyaan sederhana yang ternyata sulit sekali dijawab: "Mau jadi apa nanti?" Hampir semua orang pernah ditanya itu sejak kecil, entah oleh guru, teman, bahkan orang tua. Ada yang menjawab cepat dengan penuh keyakinan---dokter, pengacara, insinyur, atau pekerjaan besar lainnya. Namun ada juga yang hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Bagi sebagian orang, diam itu bukan berarti tidak punya mimpi, melainkan karena memang belum tahu jalannya akan seperti apa. Begitulah kisah seseorang yang saat remaja merasa hidupnya hanya berjalan tanpa arah, penuh kebahagiaan sederhana di luar kelas, tapi juga sarat kegelisahan ketika menyangkut masa depan.

Hampir satu dekade lalu, jika ada yang menanyakan cita-citanya atau apa yang ingin ia lakukan dalam hidup, jawabannya hanyalah, ia tidak tahu. Itu bukan jawaban basa-basi, melainkan benar-benar karena ia tidak punya kepastian. Saat itu ia masih menjadi murid A-level di salah satu sekolah paling bergengsi di Brunei. Sebuah sekolah yang membuat orang lain kagum hanya dengan mendengar namanya. Setiap kali ia menyebutkan asal sekolahnya, orang-orang langsung terkesan, seolah-olah ia adalah murid pintar, cerdas, dan selalu mendapat nilai tinggi. Kenyataannya, ia bukan murid bintang. Ia tidak selalu berhasil meraih nilai A. Akademik bukanlah senjatanya, dan ia sering kali kesulitan mengejar pelajaran.

Namun di luar ruang kelas, kehidupannya jauh berbeda. Ia sering terlihat di panggung, bukan sebagai pembicara publik, tetapi sebagai penyanyi. Ia pernah menjadi kapten paduan suara, memimpin penampilan lapangan, dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang membuatnya menonjol. Hidupnya penuh warna dari sisi itu, meski ia kerap harus meminta maaf pada gurunya karena sering absen kelas. Ia memang tidak pandai mengejar pelajaran, tetapi ia pandai menikmati hidup.

Di saat teman-temannya sudah jelas menentukan jalur karier masing-masing---ada yang ingin menjadi dokter, ada yang bercita-cita sebagai pengacara, ada yang bermimpi jadi akuntan---ia justru masih berjalan tanpa arah. Tidak ada cita-cita pasti, tidak ada target, hanya mengikuti alur hari demi hari. Hingga tiba masa O-level, di mana ia semakin kesulitan. Ia merasa kalau melanjutkan A-level hanya akan memperburuk keadaan. Ia bahkan sempat meminta pindah sekolah agar bisa keluar dari jalur itu. Namun orang tua dan gurunya justru meyakinkan untuk tetap bertahan. Hanya dua tahun lagi, kata mereka, dua tahun lalu selesai. Apalagi sekolah bergengsi seperti itu dianggap bisa memudahkan jalan ke universitas. Dengan setengah hati, ia pun bertahan.

Meski demikian, pertanyaan itu tidak pernah hilang: apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa yang bisa membuatnya bahagia? Ia tidak pernah menemukan jawaban cepat. Namun jauh di dalam dirinya, ada perasaan bahwa ia dibuat untuk sesuatu yang lebih.

Perasaan itu semakin nyata ketika ia sadar bahwa lemari bajunya sudah terlalu penuh. Dari situ, ia mulai menjual pakaian-pakaian miliknya sendiri. Awalnya sekadar iseng, hanya untuk mengurangi tumpukan baju. Namun ternyata ia menikmati prosesnya. Mulai dari memotret barang, mengatur harga, membungkus paket, hingga mengantarnya. Aktivitas itu membuatnya merasa bersemangat. Dari kegiatan kecil itu, perlahan tumbuh sebuah usaha kecil-kecilan.

Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia menantikan sebuah momen penting. Sementara anak lain mungkin menantikan kado ulang tahun berupa barang mahal, ia justru menghadiahi dirinya sendiri sebuah lisensi bisnis. Mendaftarkan usaha secara resmi menjadi hadiah ulang tahunnya. Sejak itu, semuanya berubah. Bisnis bukan lagi sekadar main-main. Ada tanggung jawab yang harus dipegang, ada konsistensi yang harus dijaga, dan ada kedisiplinan yang perlu dipelajari.

Namun tentu saja, perjalanan itu tidak mudah. Menjual barang bekas tidak menjanjikan masa depan cerah, terutama di Brunei. Ia pun mulai mencari cara lain. Hingga pada suatu perjalanan keluarga ke luar negeri, seorang pelanggan meminta tolong untuk dibelikan sesuatu dari sana. Dari situ, ia sadar ada peluang baru. Ada permintaan, ada kebutuhan, dan ia bisa mengisinya. Ia pun mulai mencoba bisnis personal shopping. Awalnya melayani permintaan kecil, tetapi perlahan berkembang. Hingga akhirnya terbentuk sebuah komunitas pelanggan yang semakin hari semakin bertambah. Dari hanya segelintir orang, hingga ribuan anggota yang setia.

Dari sanalah ia menemukan rasa puas yang berbeda. Melihat pelanggan bahagia saat barang yang mereka pesan tiba di tangan, membuatnya ikut merasa bahagia. Usahanya bukan lagi sekadar transaksi, melainkan sebuah pengalaman yang penuh nilai. Ia bahkan menjadikan komunitas itu sebagai wadah berbagi. Setiap kali ia mendapat kesempatan menghadiri suatu acara, ia akan membagikan pelajaran yang ia peroleh kepada anggota komunitasnya. Ia tahu tidak semua orang punya kesempatan yang sama, maka ia merasa harus menjembatani kesenjangan itu.

Tentu saja, ada tantangan besar lain. Di Brunei, bisnis belum dianggap sebagai jalur karier yang "resmi". Banyak orang berkata, lebih baik bekerja di pemerintahan saja. Stabil, ada gaji tetap, ada tunjangan, ada jaminan. Kalimat itu sering ia dengar, bahkan dari keluarganya sendiri. Orang tuanya beberapa kali menyarankan agar ia berhenti, karena terlihat kesulitan. Tetapi ia tahu, hanya dirinya yang benar-benar menjalani, hanya dirinya yang tahu arti setiap langkah. Baginya, kesulitan adalah bagian dari hidup. Semua hal memang sulit. Menjaga pola makan itu sulit, tetapi jatuh sakit lebih sulit. Belajar itu sulit, tetapi bodoh lebih sulit. Memulai usaha itu sulit, tetapi terjebak di zona nyaman yang tidak memberi kebahagiaan juga sulit. Jadi, ia memilih kesulitan yang sesuai dengan hatinya.

Dari sanalah perubahan pola pikir besar terjadi. Ia menyadari bahwa tidak ada jalur yang mudah. Semua pekerjaan, semua kesempatan, semua ruang, pasti punya tantangan. Justru dengan menerima hal itu, ia merasa semakin selaras dengan dirinya. Ia akhirnya menemukan bahwa kebahagiaan tidak datang dari rencana yang sempurna, melainkan dari keberanian untuk mendengarkan suara hati sendiri.

Perjalanan hidupnya membuktikan satu hal: seseorang bisa memulai dari rasa bingung, bisa tersesat, bisa merasa kalah dibanding teman-temannya yang sudah lebih pasti, tetapi tetap bisa menemukan jalannya sendiri ketika berani jujur pada diri sendiri. Ia belajar bahwa yang paling berharga bukanlah jalur yang "paling aman" menurut orang lain, melainkan kesetiaan pada suara hati yang terus berbisik.

Ia teringat pada sebuah kutipan dari Robert Greene dalam buku 48 Laws of Power. Kutipan itu berbunyi: jangan menerima begitu saja peran yang dipaksakan masyarakat, ciptakan kembali dirimu dengan identitas baru yang kuat, yang menarik perhatian, dan jangan pernah membosankan. Kuasai gambaran tentang dirimu sendiri, daripada membiarkan orang lain mendefinisikannya. Kata-kata itu terasa menancap dalam karena ia pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya hidup hanya mengikuti definisi orang lain tentang kesuksesan. Ia pernah memilih jalur A-level bukan karena menginginkannya, tetapi karena orang lain menganggap itu benar.

Kini, ia tidak lagi sama. Ia belajar bahwa jika seseorang merasa tersesat, tidak perlu panik. Masih ada dirinya sendiri yang bisa diajak bicara. Yang perlu dilakukan hanyalah berhenti sejenak, menengok ke dalam, lalu bertanya dengan jujur: apakah ini membuatku bahagia? Apakah ini benar-benar selaras dengan diriku? Mungkin jawabannya tidak langsung datang, mungkin butuh waktu yang panjang, tetapi pada akhirnya, jawaban itu akan tiba.

Perjalanan itu akhirnya mengajarkannya satu hal penting: hidup bukanlah tentang menemukan rencana yang sempurna, melainkan tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Ia pernah merasa kalah karena tidak tahu apa yang ia inginkan, sementara teman-temannya sudah melangkah dengan pasti. Tapi dari kebingungan itulah ia menemukan jalannya. Kini ia sadar, yang paling berharga bukanlah gelar, bukan pula jalur yang "paling aman" menurut orang lain, melainkan suara hati yang terus ia dengarkan. Jika seseorang di luar sana merasa tersesat, tidak tahu arah, atau bingung dengan masa depan, mungkin jawabannya bukan di luar, melainkan ada di dalam diri. Cukup bertanya: "Apakah ini membuatku bahagia? Apakah ini benar-benar selaras denganku?" Jawaban itu mungkin tidak datang seketika, tapi pasti akan tiba. Dan ketika itu datang, hidup akan terasa lebih bermakna---karena akhirnya, ia bukan sekadar mengikuti jejak orang lain, melainkan menciptakan jalannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun