Yang berikutnya akan dilacak adalah darimana para pelaku mendapatkan bahan-bahan high explosive. Untuk resep dan rangkaian, para pelaku dapat mengunduhnya secara online. Suatu dampak buruk teknologi informasi yang harus dikaji oleh kementrian terkait.
Sedangkan bahan-bahan kimia berbahaya itu, pastilah didapat dengan suatu transaksi dengan pihak lain. Di titik ini maka peluang menjadi divergen karena, bila bahan-bahan itu didapat dari toko kimia, ada banyak sekali toko bahan kimia di negara ini. Mungkin hal itu akan terpecahkan bila ada kesaksian dari sebuah toko. Atau ada jejak-jejak otentik suatu transaksi. Misalkan nota pembelian yang ditemukan diantara bahan-bahan itu. Atau secarik struk transfer bank yang dapat membantu menentukan darimana asal bahan-bahan tersebut diperoleh.
ISIS disebut sebagai makhluk baru dalam khazanah terorisme, terutama dalam cara mengekpresikan terornya. Ideologi radikal dapat saja ditemukan di buku-buku yang dijual di toko dan di emperan. Namun untuk menerjemahkan ideologi radikal itu menjadi ledakan-ledakan teror, bom bunuh diri yang amat mencekam, ada rangkaian logika yang harus dijelaskan.
ISIS sendiri sejatinya telah memiliki medan tempur yang rumit di “negeri” nya sendiri. Karena berbagai faksi di tanah kering dimana mereka dilahirkan itu, berperang satu sama lain tanpa kejelasan untuk apa dan mengapa. Akan tetapi nampaknya kelompok itu memiliki prinsip seperti yang juga dapat ditemukan pada budaya kita yakni “jangan tanggung-tanggung”. Di luar front itu, mereka membuka front-front lain di berbagai belahan dunia, termasuk di Filipina dan Indonesia. Mereka tak pernah mendengar sebuah idiom praktis yang pernah diucapkan oleh seorang lelaki kekar bernama Prabowo: “Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan tidak cukup”.
Dengan teror-teror kontinyu, mereka malah dengan sengaja menanam sejuta permusuhan. Pada namanya tercantum “Irak dan Syiria”, namun seolah mereka sanggup menghadapi seluruh pemerintahan di dunia beserta senjata-senjata yang high-end-nya nyaris tak terbayangkan. Semacam pemahaman yang lebih mengedepankan kuantitas. Yang penting banyaknya. Sekalipun yang banyak itu adalah musuh yang mengepung dari kiri dan kanan.
Kita saksikan mereka dalam keadaan konstan berperang dengan negara-negara, baik yang dianggap kafir maupun thoghut. Menurut sumber-sumber yang ada, ISIS menganggap seluruh perangkat negara adalah thoghut. Dari gedung DPR MPR, Pos Polisi, sampai perangkat RT. Secara sporadis, dengan waktu yang tak dapat dinyana-nyana, serangan ledakan mereka bisa mengejutkan lawan. Seperti untuk menegaskan eksistensi. Semacam pergeseran mindset ketika gerakan bawah tanah dioperasikan oleh generasi mutakhir yang terbiasa dengan jargon yang penting eksis.
Ada fenomena yang menarik bahwa sering dijumpai pelaku teror membawa identitas misalnya KTP atau KK dalam aksi mereka. Sekalangan berseloroh bahwa di tengah kebrutalan itu, terdapat setitik niat mulia untuk membantu petugas mengidentifikasi puing-puing ledakan. Namun secara spekulatif dapat dilihat bahwa hal ini adalah semacam kecenderungan umum yang terdapat pada generasi baru untuk “selfie”: diakui oleh orang-orang sekelilingnya. Hanya saja taktik ini sudah terbaca oleh media-media arus utama. Sehingga media-media itu cenderung enggan mengabarkan adanya dokumen-dokumen itu, yang mereka tinggalkan di antara puing-puing.
Dalam kenyataan tata pikir dan skill mereka yang pernah kita saksikan, betapa mengerikannya sang teror bagi kita. Bayangkan kita harus memendam rasa takut ketika melintas di sebuah pos polisi. Yang nampaknya justru target teror utama bagi si teroris. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa mereka tidak menyerang yang mereka anggap sarang pentolan thoghut, misalnya gedung Parlemen. Penjelasan yang masuk akal adalah mereka sadar betul bahwa wilayah vital negara selalu diamankan dengan pengamanan maximum security. Terpaksa mereka lebih memilih sasaran-sasaran dengan penjagaan minim. Termasuk rumah ibadah, dimana ledakan dapat memecah belah masyarakat pada satu hal yang amat sensitif, yakni agama.
Sebuah teror klasik yang jelas-jelas akan meremukkan persaudaraan.
***
Kuhirup lagi segelas kopi itu. Sementara pikiran masih membayangkan seorang berseragam yang duduk juga di sebuah kursi. Di meja itu juga. Di sebuah warung di tepi empang.