Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, kembali menuai kontroversi internasional setelah meluncurkan serangan militer ke fasilitas nuklir Iran. Keputusan itu tidak hanya memicu ketegangan global, tetapi juga mengguncang panggung politik domestik Amerika Serikat. Kongres AS, sebagai lembaga legislatif, terpecah dalam menyikapi langkah tersebut, dan banyak pihak menilai bahwa tindakan Trump merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi Amerika.
Pasca serangan, suara anggota Kongres terbelah. Mayoritas dari Partai Republik mendukung langkah Presiden dengan alasan menjaga keamanan nasional dan mencegah ancaman dari Iran. Sebaliknya, Partai Demokrat menuding Trump telah bertindak sepihak dan melewati batas kewenangannya sebagai presiden. Perpecahan ini semakin dalam ketika diketahui bahwa Trump hanya memberi informasi kepada anggota Kongres dari Partai Republik, tanpa berkonsultasi atau meminta persetujuan dari pihak Demokrat.
Padahal, menurut Pasal I Konstitusi Amerika Serikat, kekuasaan untuk menyatakan perang atau meluncurkan serangan militer besar berada di tangan Kongres. Meskipun Presiden sebagai panglima tertinggi militer memiliki hak untuk bertindak cepat dalam situasi darurat, namun tindakan besar seperti serangan ke fasilitas nuklir negara lain memerlukan otorisasi legislatif. Ketidakhadiran persetujuan ini menjadi titik sentral dalam kritik terhadap Trump.
Langkah Trump juga dinilai melanggar semangat dari War Powers Resolution (Resolusi Kewenangan Perang) tahun 1973, yang mewajibkan presiden untuk memberi tahu Kongres dalam waktu 48 jam jika melakukan aksi militer, dan menghentikannya dalam 60 hari kecuali mendapat persetujuan resmi. Dalam kasus ini, bukan hanya informasi yang disampaikan terlambat, tetapi juga tidak mencakup semua anggota Kongres, melainkan hanya sebagian yang berasal dari partainya sendiri.
Kritik tajam pun bermunculan, terutama dari Ketua DPR saat itu dari Partai Demokrat, Nancy Pelosi, yang menyatakan bahwa "Trump telah melemahkan demokrasi dan melangkahi otoritas konstitusional Kongres." Tindakan ini juga dipandang sebagai preseden berbahaya yang bisa membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif di masa depan.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana sistem checks and balances di Amerika Serikat menghadapi tantangan besar. Ketika presiden dapat mengambil keputusan militer sepenting ini tanpa melibatkan legislatif secara penuh, maka prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi kabur. Bahkan, beberapa anggota Partai Republik sendiri menyuarakan kekhawatiran terhadap konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di tangan eksekutif.
Akibatnya, Kongres mencoba merespons dengan mengusulkan resolusi pembatasan kekuasaan presiden untuk menyerang Iran tanpa persetujuan legislatif. Namun, seperti yang sudah diprediksi, resolusi ini akhirnya diveto oleh Trump dan gagal dikabulkan secara hukum. Hal ini memperlihatkan lemahnya posisi legislatif dalam mengekang kekuasaan presiden, terutama ketika presiden dan mayoritas Senat berasal dari partai yang sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI