Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Matematika dan Pemahaman Keagamaan

13 Februari 2022   18:03 Diperbarui: 13 Februari 2022   18:07 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
learnsomethinginteresting.com

Dalam dunia Hukum, prinsip Statistik kebenaran Statistik ini juga yang kerap digunakan Hakim dalam memutus sesuatu. Dasar seorang Hakim memutus seseorang bersalah atau tidak bersalah adalah bukti, bukan pengetahuan yang keseluruhan. Keputusan Hakim bisa digugat apabila dikemudian hari ditemukan bukti yang berlawanan.

Dalam kehidupan keseharian kita, terasa sekali bila logika bilangan binner dan bilangan desimal ini tidak dipakai. Ketika seorang dianggap bersalah, orang beramai-ramai memuji nya seolah hidupnya bersih tanpa kekeliruan. Begitu juga sebaliknya. Ketika seorang dianggap bersalah, maka terasa sekali bila hidupnya dianggap tanpa ada kebenaran.

Begitu juga dalam pemahaman keagamaan. Banyak pertanyaan keagamaan memakai logika binner padahal asumsi yang dibangun Agama adalah logika desimal. Begitu  juga sebaliknya. Sesuatu yang menurut Agama sangat binner (mutlak) tapi dijadikan menjadi sangat desimal.

Contoh paling sederhana adalah kerap munculnya pola pertanyaan tertutup (close question) berkaitan dengan hukum fikih. Seperti pertanyaan sejenis "Apakah memakan Ikan itu hukumnya Halal atau Haram? Asumsi yang dibangun dalam pertanyaan ini sangatlah binner. Melihat sesuatu dalam dua hal yang sangat berlawanan; halal dan haram. 

Padahal Hukum dalam Fiqih sendiri tidak binner halal dan haram. Tapi sangat gradasi. Hukum dalam Fiqih terdiri dari 5 yang sangat desimalis yaitu Halal, Haram, Sunnah, Makruh dan Mubah.

Atau pertanyaan status najis sesuatu. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sesuatu itu Najis atau tidak. Sangat binner. Seolah pilihannya hanya antara najis dan tidak najis. Padahal dalam Fiqih, ada banyak varian Najis. 


Mulai dari Najis yang sangat berat (mughaladhah), sedang (mukhafafah) dan ringan (mukhafafah). Begitu juga dengan status kesucian. Bahwa sesuatu yang suci ada yang mensucikan tapi ada yang tidak bisa mensucikan. Karenanya meski air mineral itu suci, tapi bukan berarti bisa dipakai untuk berwudhuk. Begitu seterusnya.

Pada sisi lain terjadi proses pembalikan. Ajaran Agama yang memakai logika binner, dijadikan sangat desimal. Sesuatu yang menurut Agama jelas hukumnya tidak boleh, lalu menjadi setengah boleh dan bahkan menjadi boleh. Entah karena masyarakat nya tidak jeli memisah logika binner dan logika desimal, pelakunya biasa para elit agamawan untuk kepentingan pribadi nya sendiri.

Seperti seseorang yang mengaku ustadz yang menipu orang dengan dalih investasi. Hukum Agama pastinya mengatakan bahwa kejahatan atau penipuan itu pelanggaran bukan kebaikan. Logika yang dipakai adalah binner. Menipu itu tindakan salah bukan tindakan benar. 

Tapi ajaran Agama yang memakai logika binner, diubah menjadi logika desimal. Menipu menjadi dianggap benar setengah atau bahkan benar seratus persen karena uang nya dipakai untuk membiayai para penghafal Quran.

Atau memperkosa orang yang dalam Agama memakai prinsip logika binner. Memperkosa itu salah. Bukan setengah salah, setengah benar apalagi benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun