Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pinocchio: Journalism Dalam Drama Korea

10 Mei 2021   13:24 Diperbarui: 10 Mei 2021   13:27 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk mempersiapkan diri menghadapi masa recovery yang juga sangat penting pasca keluar dari krisis, karenanya bisa difahami bila pemerintah tetap menggenjot berbagai projek infastruktur. Selain untuk menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan, infrastruktur adalah instrumen penting untuk memperpendek recovery time. Pembangunan jalan dan jembatan harus tetap berjalan karena pasca krisis, infrastruktur transportasi itu akan memperlancar distribusi barang dan jasa.

Hanya saja kita mungkin akan mengernyitkan dahi ketika melihat kebijakan anggaran yang dilakukan di masa krisis ini. Kita mungkin bisa memahami ada pemotongan anggaran bagi Kementrian PUPR untuk penanganan Covid-19. Meski kementrian ini menangani infrastruktur. Hanya saja kenapa pada saat yang sama pemotongan anggaran terhadap Kementrian Pertahanan menunjukan angka yang sangat timpang. Dari anggaraan total Rp 149,8 Triliun ada pemotongan sebanyak Rp 17,9 Triliun. Sementara dari Rp 137,3 Triliun anggaran Kemenhan, ada potongan sebanyak Rp 23,16 miliar untuk penanganan Covid.

Kenapa ada ketimpangan potongan anggaran antara Kemenhan dan Kementrian PUPR. Bukankah kebanyakan belanja Kementrian Pertahanan itu belanja luar negeri, pembelian alutista, sehingga tidak memperkuat konsumsi dalam negeri yang sedang menjadi masalah di masa krisis. Anggap saja ini adalah prioritas untuk pembenahan alutista kita dan itu tidak hanya dilakukan pemerintah pada tahun ini saja. Tapi kenapa ketika pembenahan alutista sudah menjadi perhatian masih ada prajurit kita yang meninggal bukan di masa perang karena Kapal yang tidak layak.

Pertanyaan-pertanyaan diatas minim muncul ke permukaan. Karena masyarakat kita yang penuh dengan empati dan simpati, terseret kedukaan meninggalnya prajurit-prajurit Angkatan Laut kita.

Bila kita kembali lagi ke masa-masa awal situasi ini, maka kita akan menemukan bahwa media lah yang menyeret masyarakat kita dalam situasi seperti ini. Mayoritas media memunculkan berita tentang tenggelamnya KRI Nanggala. Mulai dari penyebabnya, analisis teknis sampai kondisi keluarga yang ditinggalkan para prajurit itu. Kita sulit menemukan media yang mempertanyakan tentang siapakah yang bertanggung jawab dan kekeliruan kebijakan apa yang menyebabkan hal ini terjadi.

Padahal seperti itulah diantara tugas jurnalistik. Membangun public discourse untuk kehidupan yang lebih baik. Jurnalistik tidak hanya sekedar mewartakan sesuatu yang diinginkan masyarakat, tetapi apa yang seharusnya diketahui masyarakat. Bila media dikatakan sebagai pilar ke-4 demokrasi, maka warta yang disampaikan mestinya menopang kehidupan yang lebih demokratis.

Disamping kehidupan muda-mudi yang menjadi bumbu dalam setiap Drama Korea, maka gambaran itulah yang muncul dalam Drama Korea berjudul Pinnochio ini. Sebuah Drama Korea yang dirilis pertama kali pada tahun 2014 dan sampai sekarang masih ditayangkan netflix. Pinnochio mengungkapkan salah satu sisi kehidupan dunia jurnalistik yang seharusnya dilakukan.

Dalam Pinnochio, Dal-Po (Lee Jong-Sok) adalah representasi bagaimana seharusnya jurnalis bekerja. Meski motivasi awal menjadi wartawan adalah dendam sejarah, Dal-Po bisa memilah mana yang seharusnya diberitakan dan tidak diberitakan. Figur Dal-Po bukan hanya menyiratkan bahwa jurnalis itu seorang pekerja keras tapi juga orang cerdas. Dal-Po mungkin tidak menunjukan bagaimana tekhnik menulis yang baik, tapi figur nya menunjukan ke arah mana sebetulnya aktivitas jurnalistik itu diarahkan.

Pinnochio sendiri adalah julukan Cho In-Ha (Park Shin-Hye) yang mengalami sindrom Pinokio. Sebuah sindrom dimana In-Ha akan selalu segukan bila dia berbohong. Sindrom Pinokio yang dialami In-Ha bukan hanya membuatnya menjadi orang jujur, tapi juga memudahkan orang akan mendeteksi setiap kebohongan yang dilakukan In-Ha.

In-Ha sendiri sejak SMA bercita-cita menjadi jurnalis. Berbeda dengan Dal-Po yang berhasil menjadi wartawan meski tidak pernah kuliah di Jurnalistik, In-Ha susah mendapat pekerjaan menjadi wartawan meski pernah kuliah Jurnalistik. Pimpinan media tidak bisa menerima In-Ha sebagai wartawan karena memiliki sindrom pinokio. Selain secara tekhnis wartawan tidak boleh cegukan ketika melaksanakan tugas, profil In-Ha yang tidak suka berbohong sangat sulit diterima media.

In-Ha sendiri pada akhirnya bisa menjadi wartawan karena sindrom pinokionya. Sebuah media yang sedang menaikan rating pemberitaan, meski redaktur nya kerap membuat kebohongan ketika membuat berita, membutuhkan figur In-Ha. Sindrom pinokio yang dialami In-Ha akan dikapitalisasi oleh media tersebut untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka hanya mewartakan kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun