Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lingkar Tanah Lingkar Air, Indonesia dan Gegar Politik Tahun 50-60an

10 Januari 2021   21:40 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kemudian hari pasangan ini menghadapi situasi sulit. Sebagaimana keturunan Yahudi yang dikejar-kejar Nazi, begitu juga dengan Arendt. Arendt yang juga keturunan Yahudi, dikejar-kejar Nazi. Sementara Heidegger kekasihnya, bukan hanya filosof pendukung Nazi tapi juga mempunya hubungan erat dengan Nazi. Perihnya, Heidegger bukan hanya pendukung Nazi yang mengejar-ngejar Arendt, dia juga tidak melakukan apa-apa untuk menolong Arendt.

Namun di kemudian hari ketika Nazi jatuh, Heidegger merasakan akibatnya. Mantan rektor ini diasingkan dan dikucilkan teman-temannya. Ketika Heidegger dalam kondisi seperti itu, Arendt adalah orang yang pertama kali mengunjungi Heidegger. Karena Arendt sudah memberikan pemaafan kepada Heidegger.

Mau tidak mau, riwayat dan pemikiran Arendt inilah yang muncul kembali di kepala saya usai membaca novel "Lingkar Tanah Lingkar Air" yang ditulis Ahmad Tohari tahun 1995. Karena seperti Arendt yang mengalami trauma politik dikejar-kejar Nazi, novel ini juga menyinggung peristiwa yang menjadi trauma politik bangsa Indonesia sampai sekarang, yaitu PKI. Setelah novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Ahmad Tohari dari tahun 1982-1986, mungkin inilah novel yang kembali menyinggung trauma politik bangsa Indonesia ini.

Hanya saja karena Ahmad Tohari dikenal sebagai santri-sastrawan yang senang mengurai dinamika masyarakat kecil di desa, gegar politik ini dilihat dalam dinamika kehidupan masyarakat kecil di Desa yang lugu, polos dan tidak berdosa.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sendiri menceritakan tentang sebuah Dukuh yang masyarakat nya tidak kenal dengan agama juga politik. Problem utama Dukuh Paruk adalah kemiskinan. Orientasi spiritual warga Dukuh Paruk bukan pada agama atau kepercayaan tertentu, tapi penghormatan kepada makam keramat. Makam mantan bromocorah yang menjadi leluhur mereka. Lainnya adalah ketika warga Dukuh bangga karena mempunyai seorang penari cantik.

Masalah muncul ketika kader Partai Komunis datang. Memanfaatkan keluguan dan kepolosan warga Dukuh, kader tersebut memobilisasi warga untuk tujuan-tujuan politiknya. Ronggeng yang menjadi kebanggaan dan identitas Dukuh, dipolitisir sehingga menjadi identitas Partai dan menjalankan agenda Partai yang sama sekali tidak mereka pahami.  

Puncaknya adalah ketika gegar politik 1965 yang melibatkan PKI terjadi. Warga Dukuh yang tidak mengerti politik, kena imbas. Mereka bukan hanya ditangkap dan dipenjara karena dianggap PKI, tapi harga diri warga Dukuh juga hancur. Mereka dicap sebagai pembunuh dan pengkhianat bangsa. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Keseharian mereka berputar-putar antara masalah ekonomi, memuliakan makam keramat dan bangga dengan Ronggeng nya.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sendiri sudah difilmkan pada tahun 2011 dengan judul "Sang Penari." Tetapi sebagaimana film adaptasi buku, selain banyaknya adegan yang tidak sesuai buku, banyak pesan utama novel yang hilang. Seperti tidak diungkapnya itikad seorang pemuda Dukuh yang ingin membangun kembali Dukuh Paruk yang sudah hancur dengan nilai-nilai Ketuhanan. Sesuatu yang justru dia pelajari dari militer tempat dia bertugas.

Namun berbeda dengan Ronggeng Dukuh Paruk, novel "Lingkar Tanah Lingkar Air" memperkenalkan variable lain dari gegar politik tahun 1965 itu, yaitu adanya tentara DI, Daarul Islam.

Awalnya adalah fatwa Hadratus Syaikh yang menyatakan wajibnya berperang melawan penjajah. Para santri pun membentuk pasukan untuk melawan penjajah. Namanya Hizbullah atau Pasukan Allah. Tentara yang mempunyai sejarah, budaya dan karakter berbeda dengan tentara republik. Karena di tentara republik banyak yang berfaham komunis, para santri yang menjadi tentara ini lebih nyaman melawan penjajah melalui Hizbullah.

Namun waktu berlanjut dan situasi berubah. Ketika penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia berhasil diusir, banyak anggota Hizbullah kehilangan orientasi. Pilihan kembali ke masyarakat setelah sekian lama mengangkat senjata, pasti bukan hal mudah. Sementara tawaran pemerintah yang mengajak anggota Hizbullah bergabung menjadi tentara republik, adalah hal menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun