Karena tidak bisa memasuki Makkah, Nabi tetap menyuruh para sahabat untuk memotong hewan kurban dan mencukur rambutnya. Menurut banyak riwayat yang dikutip para pengkaji Ilmu Tasawuf, rambut-rambut yang dipotong itu berterbangan tertiup angin menuju kota Makkah. Potongan rambut itulah yang kemudian melakukan thawaf di Ka'bah. Berkaca dari peristiwa ini, menurut pengkaji Tasawuf seperti itulah mestinya ibadah itu dilakukan. Mesti dengan niat suci dan kesungguhan. Kehadiran fisik di tempat Ibadah tidak menjadi jaminan kualitas ibadah seseorang dan penerimaan Tuhan.
Namun yang agak jarang dibicarakan dari peristiwa Hudaibiyyah ini adalah tentang sikap Nabi Muhammad dan masyarakat Arab ketika itu, termasuk diantaranya para penyembah berhala, terhadap rumah Ibadah.
Pada peristiwa ini, Nabi terlihat jelas berusaha keras menghindari peperangan di tempat Ibadah. Sementara pada sisi lain, masyarakat Arab umumnya dan Quraisy Makkah khususnya, juga sangat menjaga dan menghormati Ka'bah sebagai tempat ibadah. Mereka menjaga konvensi bahwa Ka'bah tidak boleh ada peperangan. Meski orang menyebut mereka sebagai kaum jahiliah dan kaum pagan, penyembah berhala.
Mungkin hal yang jangan dilupakan bahwa dalam sejarah Islam pun dikenal istilah Masjid Dhirar. Sebuah tempat ibadah yang dibangun atas dasar kemunafikan sebagai alat tipu daya dalam memenuhi hasrat politis. Berhadapan dengan Masjid seperti ini, dalam sejarahnya Nabi Muhammad tanpa keraguan sedikitpun menghancurkannya.Â
Karena ini adalah tempat Ibadah yang didirikan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk beribadah, namun hanya alat manipuasi. Hanya saja berkenaan dengan hal ini, tentunya kita membutuhkan ruang yang lebih luas dan lebih khusus untuk membicarakannya.