Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu: Antara Suara, Uang dan Popularitas

21 Juni 2014   01:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana dengan saya?Sekali lagi Nothing special. Tidak ada program pemerintah yang dibawa. Jangankan bertemu kepala desa, staff nya pun enggan bertemu saya. Sosialisasi mengumpulkan masyarakat?Dua kali saya lakukan itupun kerjasama dengan caleg DPRD nya. Karena patungan, 1 kali pertemuan saya keluarkan uang Rp 500.000. Lainnya saya temui beberapa orang yang dikenal dan minta bantuan mereka. Saya beri stiker dan kalender dengan biaya operasional tidak lebih dari Rp 100.000. Uniknya dalam beberapa kesempatan ada kelompok masyarakat yang memberikan hasil buminya kepada saya. Katanya oleh-oleh untuk orang rumah.

Lalu bagaimana hasil nya?di Kecamatan itu saya mendapat suara 560 dan kompetitor saya mendapat 600 suara. Hanya beda 40 suara. Silahkan dibandingkan beda jumlah uang antara yang saya keluarkan dengan kompetitor saya. Lalu yang saya yakini, kompetitor saya pasti tidak pernah diberi oleh-oleh hasil bumi oleh masyarakat yang dia kunjungi.

Di kecamatan lain dengan pola yang sama, saya bukan hanya unggul, tapi unggul mutlak. Suara saya unggul berlipat-lipat dibanding kompetitor. Lalu apakah uang tidak berperan untuk meraih suara banyak?Jawabannya tegas saya; tidak. Di kecamatan lain saya juga kalah uang dan kalah suara. Bukan hanya kalah tipis, tapi kalah telak. Selain itu juga  salah satu calon anggota legislatif di daerah pemiliahan saya yang sudah dipastikan mendapat kursi, menurut teman saya sudah menghabiskan uang lebih dari 15 Milyar.

Jadi begitulah masalah uang dalam pencalegan. Sangat penting tetapi tidak selalu menjadi jaminan utama. Lalu kemudian masalah popularitas. Apakah benar popularitas menjadi penopang utama keberhasilan seorang caleg melenggang ke senayan?

Berkaitan dengan popularitas, saya punya catatan menarik. Kita anggap saja popularitas dalam bentuk konkritnya adalah massifnya publikasi dan adanya pesohor, baik itu artis, atlet atau tokoh media. Kita bicarakan yang pertama dulu; popularitas dalam arti massifnya publikasi.

Mungkin kira-kira setahun sebelum pemilu legislatif, di daerah saya diadakan Pilkada. Seperti biasa, publikasi pilkada massif dilakukan. Semua alat peraga kampanye dipakai oleh semua kandidat. Tidak ada tempat yang tidak ditempeli alat peraga kampanye. Publikasi pilkada pun tidak hanya dilakukan oleh para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, tetapi juga oleh penyelenggara. Entah berapa banyak alat peraga pilkada yang dipasang oleh KPU Kabupaten yang terpasang di tiap sudut kota dan desa. Semua tidak hanya mewartakan adanya Pilkada, tetapi lengkap dengan tanggal penyelenggaraan, maksud penyelenggaraan, tujuan penyelenggaraan, cara memilih dan pasangan kandidat.


Lalu apa yang terjadi di masyarakat?Entah berapa kali saya mendengar masyarakat bertanya “Asa ku rame iyeu teh, bade aya naon iyeu teh kang?” (Rasanya ramai, ini mau ada apa kang?). Ketika saya beritahu akan ada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, muncul lagi pertanyaan baru. “Emang saha wae calonna Kang”? (Emang siapa lagi calonnya). Percaya atau tidak, beberapa kali saya mendapat pertanyaan seperti itu di depan spanduk besar yang menginformasikan pilkada. Nah kan..

Fenomena pada pemilu legislatif pun tidak berbeda. Beberapa kali masyarakat complain tentang kota yang sudah semrawut oleh alat peraga kampanye. Jangankan masyarakat, saya saja sebagai caleg sudah pusing melihat gambar caleg bertebaran dimana-mana. Tetapi apa yang terjadi pada hari pemilihan?Banyak masyarakat bingung mau memilih siapa karena tidak tahu para caleg nya. Jadi para pemilih tidak tahu siapa saja yang hendak dipilih di tengah gempuran alat peraga kampanye yang membabi buta. Bagaimana kita memahami ini?

Nah lain lagi bila popularitas bila diukur dengan figur seorang pesohor. Di daerah pemilihan saya ada caleg bernama Dede Yusuf. Siapa yang tidak kenal nama ini. Menurut lembaga survei inilah caleg dapil saya yang masuk top of mind. Artinya bila masyarakat di daerah pemilihan saya ditanya siapa caleg yang mereka kenal, 80 persen menyebut nama Dede Yusuf. Terbukti, rekapitulasi sementara KPU Jabar nama Dede Yusuf urutan pertama caleg yang akan melenggang ke senayan. Pertanyaannya apakah benar pesohor bisa lenggang kangkung ke senayan?

Teman saya di salah satu dapil Jawa Timur punya cerita. Kompetitornya adalah pesohor. Tiap minggu ada di acara audisi musik sebuah TV swasta nasional. Tidak hanya istri dan mantan istrinya yang terkenal, anaknya pun dikenal. Jangan tanya frekuensi kehadirannya di acara gossip TV. Meskipun menurut hitungan KPU dia sudah dipastikan mendapat kursi, menurut teman saya pesohor tadi tetap saja mesti membagi sembako, sebar uang dan mencuri suara untuk meraih suara terbanyak. Nah kan

Lalu kita simak apa kata para pakar komunikasi yang mengatakan bahwasannya seorang pesohor mesti memiliki “tone” pemberitaan media yang positif. Caleg pesohor yang dikenal karena kejelekannya, dipastikan gagal. Contoh yang selalu dikemukakan adalah pada pesohor Farhat Abbas. Pertanyaanya kemudian, kenapa pesohor seperti Aceng Fikri bisa terpilih menjadi anggota DPD Jawa Barat?Mau pakai teknik analisa media seperti apapun, pemberitaan Aceng Fikri oleh media selalu negatif. Bahkan ada partai yang enggan mencantumkan Aceng Fikri sebagai caleg nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun