Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Kota untuk Orang yang Tangguh

11 November 2013   05:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:19 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sebagai warga Jakarta beserta warga sekitar Jakarta yang turut berkegiatan serta mencari kehidupan dan penghidupan di Jakarta patut mengapresiasi diri sendiri. Masing-masing layak untuk mendapat bintang. Berarti termasuk ke dalam kategori orang-orang yang tangguh.Yang patut diacungi jempol, disematkan bintang. Kalau perlu tempel di dahi masing-masing. Tidak semua orang mau dan mampu seperti warga Jakarta. Artikel ini sekaligus melengkapi artikel sebelumnya, yaitu “Kata Siapa Hidup di Jakarta itu susah”. Ada syarat pertama dan utama yang harus dimiliki oleh orang yang hendak tinggal dan bermukim sebagai warga Jakarta maupun orang yang mencari kehidupan dan penghidupan di Jakarta. Harus tahan banting. Maksudnya ketika dibanting, tetap membal, kenyal, dan segera kembali ke bentuk yang semula. Istilah kerennya, memiliki daya resilience yang tinggi, memiliki daya lenting yang prima. Berikut beberapa hal yang turut menguji sebagian warga jakarta menjadi orang yang tangguh. Yakin, pasti ada di antara warga Jakarta mengalami salah satu atau salah dua di antara kejadian di bawah ini. Kalau iya, bersyukurlah, berarti Anda cukup tangguh. 1.   Balapan dengan sinar mentari Bagaimana tidak tangguh, hari pun harus kita mulai dengan balapan. Balapan dengan sinar mentari. Masih teringat orang tua selalu mewanti-wanti, “Kalau bangun tuh jangan siang-siang, nanti rejekinya dipatok ayam!” Sekarang nasihat tersebut, ternyata tetap dijalani. Walau karena keterpaksaan. Terpaksa harus balapan dengan sinar mentari. Jika tidak, semua akan kacau. Anak-anak terlambat masuk sekolah, sarapan belum sempat tersedia, bahkan telat masuk ke kantor. Terpaksa sinar mentari harus kita kalahkan. 2.  Mempertahankan kesabaran menunggu kendaraan Bagi warga yang masih kurang beruntung karena tidak memiliki mobil pribadi atau belum kebagian mobil murah, harus siap melatih kesabaran awal di pagi hari. Menunggu kehadiran angkutan umum kopaja, metromini, busway, kereta, atau bahkan tukang ojek yang biasa mangkal di ujung jalan. Terkadang, pekerjaan menunggu angkutan massal ini membutuhkan pertahanan kesabaran ekstratinggi. Sekalipun lewat, belum tentu tersedia tempat, bahkan untuk nyempil sekalipun. Terpaksa menunggu moda selanjutnya. Tidak tanggung-tanggung, pada jam-jam sibuk, terutama pagi dan sore hari, bisa hingga hitungan jam, yang ditunggu tak jua kunjung hadir. [caption id="" align="aligncenter" width="413" caption="Sumber Foto : https://assets.kompas.com/data/photo/2011/07/01/0206168620X310.jpg"][/caption] 3.   Mandi Sauna Kendaraan yang ditunggu tak kunjung datang. Begitu datang, penuhnya minta ampun. Sudah jelas-jelas penuh sesak, kondektur tetap matap dengan imbauannya, “Coba ya, bergeser ke tengah, di tengah masih kosong.” Padahal sudah jelas-jelas penuh sesak. Kalau sudah begini, patut bersyukur. Bisa mandi sauna tanpa perlu ke tempat sauna. Keringat dengan aroma tujuh hingga belasan rupa sudah bisa kita hirup. Masih terhitung lumayan kalau mandi saunanya di pagi hari ketika berangkat kerja. Jangan bayangkan aromanya ketika pulang kerja. Jalani saja. Niscaya anda akan menjadi orang yang tangguh. 4.   Bertarung melawan kemacetan Supaya tahan banting hidup di jakarta, siapkan kondisi fisik yang prima,  ketahanan mental yang tetap terjaga, dan emosi yang terkendali. Pertarungan akan segera dimulai. Yang punya kendaraan sendiri maupun yang menggunakan kendaraan umum sama-sama harus bertarung melawan kemacetan. Yang membedakan, jika menggunakan kendaraan pribadi, masih beruntung. Macetnya masih di tengah kondisi ber-AC, sambil mendengarkan radio, atau sambil bersenandung kecil, atau teriak-teriak sendiri melampiaskan kesal karena macet. Resikonya, harus mengeluarkan biaya ekstra, biaya kemacetan. Bahan bakar yang diperlukan lebih banyak dibandingkan kalau tidak macet. Bagi yang berkendaraan umum, lengkaplah sudah penderitaan. Berdesakan, kepanasan, macet pula. Kita tidak perlu teriak, “Jokowi…Tolong…!”. Ini tanggung jawab semua. Tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tanggung jawab SBY (Pemerintah Pusat) juga. Tanggung jawab kita semua. Jadi, SBY, jangan hanya curhat dan menyalahkan yang lain. Ini tanggung jawab bersama. Yang perlu diingat, jangan keluarkan kebijakan yang saling bertentangan. Cukup sudah kefatalan kebijakan mobil murah. Jangan ditambah lagi dengan kebijakan yang kontra produktif lainnya. 5.   Latihan ketahanan telinga Tidak cukup hanya di situ, warga Jakarta pun harus memiliki ketahanan terlinga yang ekstra. Bunyi klakson kendaraan tidak cukup hanya ditekan satu kali. Bisa berkali-kali. Padahal sudah jelas-jelas tidak akan memiliki fungsi. Warga Jakarta sudah kebal dengan bunyi klakson. Maksudnya, walau sudah berkali-kali dibunyikan, tetap tak bergeming. Jadi sebenarnya, percuma juga membunyikan klakson. 6.   Latihan adaptasi dengan polusi Tingkat polusi udara di Jakarta tidak perlu diragukan lagi. Sangat meyakinkan. Yakin seyakin-yakinnya, sangat terpolusi. Berapa banyak polusi udara yang diakibatkan oleh gas buangan knalpot jutaan kendaraan yang memadati Jakarta setiap hari? Berapa banyak karbonmonoksida yang anda hirup? Semoga dapat segera beradaptasi dengan kondisi yang terpolusi. Miris? Ya…. 7.   Berpacu melawan penuaan dini Cobalah sesekali hitung. Berapa waktu terbuang untuk perjalanan yang dilakukan setiap hari? Berapa hari terbuang dalam sebulan hanya untuk menghabiskannya di jalanan ibukota? Tidak perlu terkejut berlebihan. Masih banyak orang-orang di Jakarta dan sekitar Jakarta yang harus menempuh perjalanan lebih dari 4 jam per hari untuk pergi ke dan pulang dari tempat kerjanya. Wow! Siapa yang hendak menyangkal? Mereka termasuk orang-orang yang tangguh! Terdengar terlalu sinis? Mungkin iya. Istilah “tua di jalan” memang benar adanya. 8.  Sikap rela berkorban Tinggal di Jakarta atau hidup dan berkehidupan dari Jakarta harus senantiasa memupuk sikap rela berkorban. Rela untuk menghadapi situasi berkurangnya waktu berkumpul dengan keluarga. Rela terkorupsi waktunya di jalan. Rela mengorbankan tenaga dan pikirannya hampir habis untuk hal yang seharusnya tidak perlu. Tenaga, pikiran, dan emosi yang terkuras untuk menghadapi jalanan Jakarta seharusnya dapat dialihkan untuk hal-hal yang produktif. Demi mewujudkan waktu yang lebih berkualitas. Hal-hal yang diungkapkan di atas, bukan sesuatu yang baru. Semua juga sudah tahu. Hanya terkadang, dengan berbagai alasan, kita seolah berupaya berdamai. Menerima karena keterpaksaan. Hanya sekedar menghibur orang Jakarta. Ternyata mereka termasuk orang yang tangguh. Boleh miris, boleh sinis. Inilah Jakarta. Kota yang sering dicaci, diumpat, namun tetap dicintai dan dihuni oleh jutaan warga, dengan segenap alasannya. Jadi, masih siapkah untuk hidup dan berkehidupan di Jakarta? Semangat! Berarti anda termasuk salah satu orang yang tangguh! Salam. (Del)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun