Belakangan ini, marak ditemukan kasus kecurangan dalam penyusunan skripsi, mulai dari plagiasi, manipulasi data, hingga pemalsuan hasil penelitian. Salah satu praktik yang sering terjadi adalah ketika mahasiswa melakukan eksperimen di sekolah (misalnya uji model pembelajaran), tetapi saat analisis data menemui ketidaknormalan atau hasil yang tidak signifikan, mereka memilih untuk "memoles" data agar sesuai dengan hipotesis. Pertanyaannya: Apakah mereka yang melakukan ini layak disebut sarjana dan layak lulus?
1. Manipulasi Data: Penghianatan terhadap Ilmu Pengetahuan
Ketika seorang peneliti memanipulasi data:
- Mengabaikan etika penelitian: Penelitian ilmiah bertujuan mencari kebenaran, bukan membenarkan keinginan peneliti. Data yang dimanipulasi adalah pembodohan publik.
- Merusak integritas akademik: Jika hasil penelitian palsu digunakan sebagai referensi, akan berdampak buruk pada perkembangan ilmu pengetahuan.
- Membahayakan praktik pendidikan: Misalnya, jika model pembelajaran yang "sukses" dalam skripsi ternyata hasil rekayasa, guru/dosen yang mengadopsinya akan menerapkan metode yang tidak terbukti efektif.
Contoh nyata: Â
Seorang mahasiswa menguji model pembelajaran inovatif di sekolah. Saat uji normalitas gagal, alih-alih mencari solusi statistik (misal: uji non-parametrik), ia mengubah data agar normal. Akibatnya, penelitian seolah-olah berhasil, padahal tidak mencerminkan realita.
2. "Lulus dengan Curang = Sarjana Palsu"
Jika universitas tetap meluluskan mahasiswa yang terbukti curang:
- Menyuburkan budaya instan: Mahasiswa lain akan berpikir, "Untuk apa jujur jika curang bisa lulus?".
- Merendahkan nilai gelar akademik: Gelar sarjana seharusnya mencerminkan kompetensi dan integritas, bukan sekadar formalitas.
- Membentuk calon profesional yang tidak kredibel: Bagaimana bisa mempercayai dokter, insinyur, atau guru yang skripsinya hasil plagiat/manipulasi?
- Jika seorang guru lulus dengan skripsi palsu, apakah ia layak mengajar? Â
- Jika seorang peneliti memalsukan data, dapatkah kita percaya pada temuan ilmiahnya?
3. Mengapa Kecurangan Terjadi?
Beberapa faktor penyebab:
1. Tekanan waktu dan target lulus cepat. Â
2. Kurangnya pengawasan dosen pembimbing. Â
3. Minimnya pemahaman metode penelitian, sehingga mahasiswa tak tahu cara mengatasi masalah data. Â
4. Budaya "yang penting lulus" tanpa memedulikan proses.
Di tengah maraknya kasus plagiarisme dan manipulasi data yang terungkap belakangan ini, kita patut bertanya: masih pantaskah gelar sarjana diberikan kepada mereka yang menyelesaikan studinya dengan cara-cara tidak terpuji? Kasus-kasus seperti pemalsuan data penelitian, plagiarisme massal, hingga pembelian jasa pembuatan skripsi telah menjadi momok menakutkan yang menggerogoti kredibilitas dunia pendidikan tinggi Indonesia.
"Jika penelitianmu gagal, itu lebih terhormat daripada berhasil dengan kebohongan. Karena ilmu pengetahuan dibangun dari kegagalan yang jujur, bukan kesuksesan yang direkayasa."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI