Setiap perang pasti menyebabkan krisis kemanusiaan dan kebudayaan. Demikian pula yang terjadi dalam konflik Rusia-Ukraina. Tangis, kematian, kengerihan, ketakutan, pengungsian, perpisahan, dan kehancuran adalah warna dominan yang kita jumpai dalam banyak pemberitaan media.
Dalam konteks itulah, para jurnalis dituntut agar mampu menyampaikan berita yang tidak menimbulkan masalah baru. Ironisnya, ada beberapa jurnalis Barat yang melontarkan ucapan rasis dalam memberikan komentar krisis kemanusiaan yang berlangsung akibat perang antara Rusia vs Ukraina.
Yang saya maksudkan dengan ucapan rasis adalah bagaimana komentar para jurnalis, demi memberikan empati kepada warga Ukraina korban perang yang tengah mengungsi ke beberapa negara tetangga, memunculkan perspektif yang merendahkan kelompok ras lain.
RASISME DAN BIAS
Dalam tweet-nya secara langsung dari Kyiv, koresponden CBS News, Charlie D'Agata, mengatakan:
"Sekarang dengan masuknya Rusia, itu mengubah kalkulus sepenuhnya. Puluhan ribu orang mencoba melarikan diri dari kota. Akan ada lebih banyak lagi, orang-orang bersembunyi di tempat perlindungan dari bom.
Tapi ini bukan tempat, dengan segala hormat, seperti Irak atau Afghanistan yang telah menyaksikan konflik berkecamuk selama beberapa dekade. Ini adalah kota yang relatif beradab dan relatif Eropa di mana Anda tidak akan mengharapkan harapan itu akan terjadi."
Komentar tersebut memang tampak ingin memberikan empati mendalam terhadap nasib buruk yang dialami warga Ukraina, warga Eropa. Ungkapan "puluhan ribu orang melarikan diri" menyampaikan makna penyangatan dari kondisi mengerikan yang dihadapi warga di sana.
Tentu, kita semua sepakat bahwa mereka adalah korban perang, akibat gagalnya diplomasi antar pemerintah Rusia dan Ukraina dalam menyikapi campur tangan NATO di kawasan Eropa Timur. Warga sipil akhirnya menjadi korban dari perang yang sesungguhnya tidak mereka inginkan. Dalam posisi tersebut, kita bisa memahani komentar Charlie.
Namun, ketika ia membandingkan Ukraina dengan Irak dan Afghanistan, saya membaca adanya konstruksi rasis sekaligus orientalis. Ungkapannya, "tapi ini bukan tempat, dengan segala hormat, seperti Irak dan Afghanistan," memberikan makna bahwa ia mewajarkan tindakan anti-kemanusiaan yang berlangsung di kedua negara Timur Tengah tersebut.
Irak dan Afghanistan serta negara-negara di kawasan Timur Tengah menjadi "liyan" yang memang sudah terbiasa dengan konflik. Maka, tidak mengherankan kalau terjadi persoalan kemanusiaan akibat perang yang masih berkecamuk selama beberapa dekade.