Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bergoyang, Digoyang, dan Menggoyang: Estetika Subversif Dangdut Koplo

11 Januari 2022   10:08 Diperbarui: 12 Januari 2022   07:01 7277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi dangdut Nella Kharisma menghibur ratusan penonton dalam perayaan HUT Ke-55 SMKN 2 Malang di Lapangan SMKN 2, Kota Malang, pada 31 Januari 2018. (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO via KOMPAS.com)

Adalah satu realitas yang tragis ketika melihat kecenderungan kajian akademis kebudayaan yang berkembang di Indonesia yang sampai saat ini yang belum begitu banyak menyentuh pagelaran dangdut maupun dangdut koplo. Kesukaan untuk lebih memilih tema-tema kajian seni pagelaran tradisional menjadi ciri utama para pengkaji budaya di Indonesia saat ini. 

Dangdut koplo seperti masih menjadi 'tabu' yang tidak begitu perlu dibahas karena tidak mempunyai nilai estetik sepertihalnya kesenian-kesenian tradisional. Sepertinya berkembang semacam asumsi bahwa dangdut koplo bukanlah 'anak sah' kebudayaan Indonesia. 

Kebudayaan Indonesia dibayangkan sebagai kebudayaan yang berisi nilai-nilai keluhuran dan bukan sesuatu yang kasar. Rupa-rupanya, paradigma kebudayaan tinggi sebagai nilai yang mampu dan harus ditransformasikan secara terus-menerus kepada semua pendukung kebudayaan. Sungguh sebuah kenaifan yang luar biasa. 

Bagaimanapun juga, kebudayaan Indonesia yang kita agung-agungkan saat ini bukanlah nilai dan bentuk yang selamanya baik. Artinya, selalu ada celah-celah untuk dikritisi karena begitu banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya, termasuk kepentingan kuasa yang secara halus masuk ke dalam bentuk-bentuk estetik. Kesenian keraton adalah salah satu bentuk estetik yang sarat kepentingan kuasa, dari jaman kolonial hingga saat ini.

Sudah saatnya budaya-budaya yang berada di wilayah periperal, seperti dangdut koplo, mendapatkan perhatian akademisi maupun budayawan. Karena dalam praktik-praktik yang ada di dalamnya, banyak terdapat kreasi, negosiasi, dan resistensi yang harus selalu dikaji dan dikritisi, dan bukannya dijauhi. 

Beragam kepentingan bisa didapatkan dari sebuah pagelaran dangdut koplo. Itulah realitas kebudayaan kita hari ini. Kebudayaan yang dipenuhi dengan ragam subkultur, dari desa hingga kota, yang harus dibaca dalam konteksnya masing-masing. Mereka juga berhak untuk diperlakukan sebagai salah satu bagian yang mengambil peran dalam perwujudan mozaik multikultural Indonesia ini. 

Dengan memosisikan dangdut koplo sebagai salah satu bidang kajian, maka para pengkaji budaya tidak akan terjebak dalam elitisme bidang kajian, tetapi bisa masuk, merasakan, mendalami, dan mengkritisi apa yang sebenarnya terjadi dalam wujud dan praktik eskpresi masyarakat di lapisan bawah hari ini.

* Tulisan ini merupakan tugas matakuliah sewaktu saya menempuh kuliah S2 di Kajian Budaya dan Media UGM. Tugas dibuat tahun 2007.

BACAAN PENDUKUNG

Bennet, Tony.1986. "The Politics of 'the popular' and popular culture", dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.

Boggs, Carl.1984. "The Theory of Ideological Hegemony" dalam The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun