Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Jalanan Mereka Berbudaya: Klub Motor sebagai Subkultur

11 November 2021   22:59 Diperbarui: 11 November 2021   23:24 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dilakukan oleh para pendukung subkultur hendaknya dibaca sebagai satu tanda bagi dinamisasi yang sedang berkembang dalam masyarakat. Bahwa kebudayaan tidak bisa lagi dibaca sebagai tradisi besar yang mengusung satu kesatuan utuh antara cita-cita ideasional dan praktik yang dijalankan para pendukungnya. Realitas yang hadir dalam masyarakat modern Indonesia menghadirkan kondisi pascamodern yang menciptakan partikularitas-partikularitas dalam praktik berbudaya. 

Partikularitas-partikularitas tersebut bukanlah realitas remeh-temeh yang tidak harus diperhatikan dalam kajian akademis karena mungkin kurangnya bobot kebudayaan yang ada di dalamnya. Sebaliknya, dari partikularitas itulah bisa dilihat munculnya makna- makna simbolis baru yang hadir dan menjadi peta makna bersama bagi para pendukungnya. Dengan kata lain, partikularitas subkultur telah hadir sebagai makna yang dijalani para pendukungnya dalam praktik dan atribut kolektif telah memenuhi syarat untuk dipahami sebagai kebudayaan.

Adalah satu kenaifan ketika mengasumsikan apa yang terjadi dalam subkultur sebagai keremeh-temehan yang tidak perlu dibesar-besarkan secara akademis. Persoalannya bukan pada hiperbolasisasi subkultur, tetapi tergantung pada kemauan dan kejujuran akademis untuk berkenan membaca struktur tanda dan praktik- praktik simbolis partikular dalam subkultur sebagai realitas kultural yang harus diungkapkan. Tentu saja pemikiran tersebut mensyaratkan satu kemauan dekonstruktif dari para peneliti untuk keluar dari konservatisme dan fanatisme akademis dan mulai memandang keragaman potensi kultural yang ada dalam masyarakat, bukan sekedar berpikir tentang keagungan budaya adiluhung atau kekakuan tradisi besar. 

Di samping itu, klaim-klaim kritis tentang pendangkalan massa akibat massifikasi dan standarisasi produk industri, sudah semestinya dikoreksi lagi karena cenderung meciptakan dalil-dalil general dan mengasumsikan konsumen sebagai makhluk pasif yang hanya bisa menerima. Hal itu bukan berarti menggiring akademisi untuk tidak berpikir kritis. Lebih dari itu, konteks kritis harus terus dibangun, tetapi tidak dengan dogma-dogma kaku yang terkesan meremehkan potensi kreatif massa konsumen.

Subkultur klub motor telah memberikan pemahaman baru betapa dalam praktik konsumsi telah terjadi perayaan kultural yang begitu beragam demi menandakan keberbedaan dan semangat kolektif di antara para pendukungnya. Motor, pengendara motor, dan jalanan yang selama ini dikesampingkan dalam kajian-kajian akademis ternyata mampu mewujud dalam subkultur yang ditandai dengan semangat dan perilaku dinamis yang mengarah sifat kreatif-konstruktif. 

Motor yang menjadi tanda modernitas dan kemajuan teknologi transportasi bagi bangsa ini dan diasumsikan sebagai representasi kepentingan kapitalis, telah menemukan makna simbolis baru yang lebih kreatif melalui resistensi semiotik yang dilakukan oleh para pengendaranya. 

Motor, dengan kata lain, bukan semata-mata menjadi barang konsumsi yang digerakkan oleh kepentingan produsennya, tetapi telah menjadi medan pertarungan semiotik dimana para konsumennya melakukan pemaknaan-pemakanaan baru yang sesuai dengan kepentingan dan selera estetis mereka. Dengan demikian, motor sebagai barang konsumsi memiliki sejarah kehidupan sosial yang maknanya bisa mengalami perubahan-perubahan seiring perkembangan kultur dan transformasi pola konsumsi dalam masyarakat (Appadurai dalam Lury, op.cit.hlm.19).

Para pengendara motor yang selama ini diasumsikan sebagai pencipta polusi udara dan suara serta penyebab kemacetan di jalan-jalan protokol, dalam konteks subkultur, telah 'lahir' sebagai makhluk-makhluk kreatif yang mereproduksi dan merekontekstualisasikan makna sebuah barang konsumsi dalam praktik estetisasi dan stilisasi melalui modifikasi-modifikasi kreatif. Model dan makna sebuah motor tidak lagi terletak pada imposisi yang dilakukan oleh industri, tetapi pada bagaimana konsumen membongkar dan merekonstruksinya dalam praktik konsumsi. 

Melalui klub-klub motor, para mengendara mampu mewujudkan satu tatanan sosial baru yang direprensentasikan melalui kolektivitas identitas dan praktik yang mengikat mereka layaknya satu komunitas sosial. Dengan keguyuban, mereka membangun dan mengembangkan eksistensi klub dengan semangat solidaritas, sesuatu yang saat ini dikatakan mulai memudar dalam masyarakat. Melalui solidaritas pula mereka berhasil mempraktikkan nilai sosial, 'tolong- menolong', sebagai modal sosial yang signifikan dalam berinteraksi dengan masyarakat luar, terutama mereka yang membutuhkan pertolongan. 

Dalam klub pula, para pengendara motor bisa melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Dalam klub pula, mereka bisa merayakan semangat pembebasan dari keterkungkungan dan kekangan beragam persoalan ideologis, dari kekakuan tradisi besar, rutinitas pekerjaan, hingga ketimpangan sosial.

Jalanan telah menjadi sebuah arena baru bagi perayaan subkultur klub motor. Di jalananlah para pengendara motor melakukan "selebrasi kultural" yang merepresentasikan satu semangat untuk berbeda namun tetap mentaati aturan lalu- lintas dalam bentuk safety reading. Jalanan juga telah menjadi arena untuk menyemaikan gaya hidup bermotor yang membedakan anggota klub dengan pengendara motor lain ataupun para pengendara mobil. Melalui touring maupun konvoi, para pengendara menunjukkan kepada publi bahwa mereka punya gaya bermotor yang berbeda tetapi tidak selalu dalam bentuk yang chaos. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun