Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (1)

17 Juni 2020   23:40 Diperbarui: 17 Juni 2020   23:43 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpapermaiden.com

Pengantar:

Draft novel yang belum mempunyai judul ini  saya tulis sejak menjalani kuliah S3 di UGM, 2009. Dan, sampai sekarang novel itu seperti belum mau diselesaikan. Semua draft dari novel akan saya upload dalam bentuk bersambung. 

Masing-masing bab akan diberikan judul untuk mempermudah pencarian di blog ini. Novel ini tidak memiliki keistimewaan, hanya cerita dua mahasiswa--dan, tentu saja, bersama tokoh-tokoh lain--dengan permasalahan masing-masing yang berusaha membangun relasi pikir dan batin, sembari mengembangkan keinginan untuk membongkar jejak peristiwa 1965. 

Cinta adalah keniscayaan yang hadir dalam dinamika naratif novel ini, memiliki karakteristik tersendiri. Begitulah pengantar sangat singkat dari saya, selamat menikmati.  

Banyuwangi selatan, tengah malam, akhir Oktober 1965. 

Suara air sungai menghasilkan nada tegas, tetapi lentur ketika berbenturan dengan bebatuan, tidak seperti serangga hutan yang menciptakan orkestra nan ramai, terkesan angkuh, bersama angin yang berhembus dingin.

Di balik itu semua, malam yang mengatur kala atas izin Sang Penghidup, tetap diam, setia berbagi jutaan cerita; dari dasar, permukaan, dan tepi sungai; dari balik semak hingga atas pohon-pohon bendho; dari bawah langit hingga atas langit. 

Tapi, malam tidak pernah berbagi cerita tentang sebuah peristiwa yang akan terjadi, karena memang belum terjadi; peristiwa yang tidak pernah ia inginkan sebagai pengendali kala. 

Lima puluh orang menyeberangi sebuah sungai berbatu dengan arus air yang cukup deras itu. Sehari-harinya, kali itu dibuat mandi oleh para petani dan buruh tani sepulang dari sawah. Dengan hati-hati, mereka melangkahkan kaki, melawan dinginnya air sungai, menginjak bebatuan yang meskipun menimbulkan rasa sakit di telapak kaki, tak terasa lagi. 

Wajah mereka dihinggapi kekosongan, bukan kesedihan karena kesedihan itu sudah berlalu beberapa waktu sebelumnya; ketika mereka diambil dari rumah masing-masing; ketika mereka harus meninggalkan istri, anak-anak, saudara, orang tua, dan kerabat; ketika permohonan ampun keluarga mereka dijawab dengan hujatan bercampur kalimat suci.

Saat itulah, kesedihan dan tangis harus dilupakan, karena nyawa dan kehidupan bukan lagi ditentukan Gusti Allah, Gusti Pengeran—Tuhan Sang Penentu Hidup Manusia, tetapi oleh orang-orang yang mengaku bisa membaca dan memahami kalimat-kalimat suci-Nya, orang-orang yang juga pernah mandi bersama dengan mereka di sungai ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun