Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dahsyatnya Gotong Royong dalam Lembayung di Sepikul

28 Februari 2020   00:44 Diperbarui: 28 Februari 2020   00:59 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai wujud konkrit koordinasi dalam semangat gotong-royong, Kades Misjo pun mengajak pengurus DeKaJe bertemu lebih dari dua kali dalam sebuan. Dalam pertemuan di Balai Desa Pakusari maupun rumah Kades Misjo itulah permasalahan-permasalahan kecil bisa diidentifikasi dan selesaikan secara bijak. Selain itu, pengurus DeKaJe juga terlibat dalam kerja bhakti membersihkan kanan kiri jalan yang dilakukan oleh warga dan perangkat desa.  

Keseimbangan Manusia, Respon Budaya, dan Perbaikan Ekosistem 

Bukit Sepikul menurut cerita lisan yang berkembang di masyarakat berasal dari pikulan---alat angkut hasil panen dari bambu yang dipikul di pundak---milik buto (raksasa) yang hendak diberikan kepada gadis pujaan hatinya. Ternyata si gadis tidak mau menerimanya. Akhirnya, pikulan berisi hasil bumi itu ditinggalkan dan si buto pergi menghilang ke tengah hutan belantara. Lama-kelamaan, pikulan tersebut berubah jadi dua bukit. 

Tentu saja, itu hanya salah satu versi dari banyak versi yang ada di masayarakat. Terlepas dari legenda itu, kata pikulan dan sepikul menandakan konsep keseimbangan. Mengapa? Karena kalau beban angkut di pikulan tidak seimbang, maka akan menyusahkan petani. Ini pula yang menjadi pelajaran bahwa manusia dan masyarakat harus berusaha menciptakan formula keseimbangan dalam kehidupan. Mereka harus bisa berdialog dengan ekosistem alam, sesama manusia, pemimpin, tokoh agama, termasuk dengan imajinasi dan kreativitas kultural.

Di tengah-tengah kuatnya hasrat menjadi modern, manusia-manusia desa melakukan transformasi lokalitas ke dalam kehidupan yang terus bergerak. Mereka masih menjalankan sebagian budaya Madura warisan para leluhur, tetapi tidak menolak kehadiran modernitas yang secara genealogis sudah tumbuh dan berkembang sejak era kolonial.

Demikian pula dengan selera kultural mereka. Tidak bisa lagi kita berpikiran romantik bahwa masyarakat desa identik dengan kesenian tradisional. Mereka juga sudah terbiasa dengan musik pop-industrial yang menyebarluas melalui new media, seperti Youtube. Mereka juga sudah terbiasa dengan gaya hidup modern dari  fashion, alat transportasi, kuliner, hingga benda-benda dalam rumah. Meskipun demikian, mereka bisa membawa sebagian nilai leluhur ke dalam kehidupan masa kini, seperti kecintaan terhadap tradisi religi dan kesenian rakyat.  Itulah salah satu keliatan yang menjadi strategi masyarakat desa untuk menjalani kehidupan.


Painting on the spot | dokpri
Painting on the spot | dokpri
Realitas kultural itulah yang menjadikan DeKaJe menghadirkan beragam event dalam Lembayung di Sepikul, dari yang bernuansa modern hingga bernuansa kerakyatan dan hibrid. Painting on the Spot yang dilakukan oleh Komunitas Serat Kayu di bagian tengah bukit merupakan bentuk kesenian modern yang dihadirkan di tengah-tengah keindahan alam. Para pelukis muda diajak untuk memahami objek material dan menuangkannya ke dalam karya lukis. Event ini sekaligus memberikan perspektif kepada para pelukis agar mau mengeksplorasi ruang-ruang baru sekaligus mengkampanyekan pemertahanan dan keberlanjutan ekologis.

Pukul 13.00 WIB, para anggota komunitas sound mini mengajak masyarakat Pakusari menikmati gerak dinamis mereka dalam rangkaian dance di jalan hingga panggung terbuka. Tubuh kaum muda desa menghayati kehadiran budaya musik industrial yang dengan mudah diakses melalui saluran Youtube dan platform new media lainnya. 

Mereka memang tidak seperti para DJ atau para pengunjung diskotik dengan gerakan tubuh yang benar-benar berusaha membebaskan diri dan pikiran. Kaum muda dari komunitas sound mini itu memang menggerakkan tubuh secara dinamis tetapi masih mengindahkan kepatutan sosial karena mereka berada di tengah-tengah masyarakat desa yang masih menghargai etika warisan leluhur. 

Maka, meskipun nge-dance, mereka tidak sampai pada level mengumbar tubuh untuk menemukan kemerdekaan mutlak. Apa yang cukup membanggakan juga adalah tidak adanya bau alkohol dari para anggota sound mini. Ini membuktikan bahwa Lembayung di Sepikul bisa menjadi kekuatan kultural yang bisa mengendalikan stigma negatif yang selama ini disematkan kepada mereka.

Gotong royong dalam Keragaman Atraksi Kultural

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun