Pertemuan yang seharusnya menjadi titik cerah untuk diplomasi Amerika-Ukraina justru berubah menjadi pertunjukan konfrontasi yang jarang terlihat di Gedung Putih. Ketika Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky datang ke Washington dengan harapan memperkuat dukungan Amerika Serikat untuk negaranya yang sedang berperang, ia justru disambut dengan ultimatum keras dan teguran publik dari Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden JD Vance.
Pertemuan hari Jumat itu dengan cepat memburuk setelah Zelensky menyarankan agar Vance, seorang skeptis terhadap bantuan AS untuk Ukraina, mengunjungi negaranya untuk melihat langsung kehancuran akibat invasi. Usulan ini memicu reaksi keras dari administrasi Trump, dengan Vance menuduh Zelensky melakukan "tur publisitas" dan bahkan bertanya secara provokatif, "Pernahkah Anda mengucapkan terima kasih sekali saja?"
Trump sendiri menambahkan dengan nada menusuk, "Apakah Anda pikir itu hormat untuk datang ke Oval Office Amerika Serikat dan menyerang administrasi yang sedang mencoba mencegah kehancuran negara Anda?" Ultimatum pun dilontarkan: "Anda akan membuat kesepakatan atau kami keluar." Tatapan putus asa Duta Besar Ukraina untuk AS yang tampak memegang kepalanya dengan kedua tangan menggambarkan dengan sempurna ketegangan yang melanda ruangan tersebut.
Dr. Elena Korosteleva, Profesor Hubungan Internasional di Universitas Kent, melihat pertemuan ini sebagai pergeseran dramatis dalam pendekatan AS terhadap konflik Ukraina. "Trump menerapkan taktik negosiasi bisnis yang kasar dalam situasi geopolitik yang kompleks. Ini bukan masalah real estate; ini adalah masalah kedaulatan nasional dan nyawa manusia," ujarnya ketika dihubungi. "Taktik 'menekan' ini mungkin berhasil dalam transaksi bisnis, tetapi dalam diplomasi internasional, hal itu dapat merusak kepercayaan dan mengikis aliansi yang telah dibangun selama bertahun-tahun."
Apa yang membuat pertemuan itu semakin kompleks adalah kesepakatan sumber daya mineral yang diusulkan sebagai langkah pertama menuju perjanjian gencatan senjata. Rencana ini akan menciptakan dana investasi bersama untuk mengelola pendapatan dari penjualan cadangan grafit, litium, logam tanah jarang, serta minyak dan gas Ukraina. Namun, banyak sumber daya ini berada di wilayah dekat garis depan pertempuran, dan sangat tidak mungkin menghasilkan ratusan miliar dolar yang dikatakan AS ingin diperoleh kembali dari bantuan militernya untuk Ukraina.
"Ini lebih terlihat seperti pemerasan pada saat Ukraina paling rentan," komentar Prof. Alexander Motyl, pakar politik Ukraina dari Rutgers University. "Trump memperlakukan hubungan internasional seperti transaksi properti, tetapi menyebutkan Amerika mengirim pekerja untuk menambang sumber daya Ukraina sebagai 'penahan' terhadap agresi Rusia adalah pernyataan yang sangat problematik dari sudut pandang kedaulatan."
Sebagai tanggapan, pejabat Rusia bereaksi dengan sukacita atas adegan luar biasa di Gedung Putih. Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia, mengatakan Zelensky mendapat "tamparan keras" dari Trump dalam apa yang dia gambarkan sebagai "teguran brutal di Oval Office." Reaksi ini tidak mengherankan mengingat pendekatan Trump yang seringkali sejalan dengan kepentingan Kremlin.
Dr. Sarah Kreps, Direktur Tech Policy Institute di Cornell University, menyoroti dimensi kekuasaan yang timpang dalam pertemuan tersebut. "Trump secara fisik mencoba mendominasi Zelensky, bahkan mengomentari pakaiannya. Zelensky mengenakan turtleneck hitam, pakaian bergaya militer yang telah ia kenakan sejak invasi skala penuh Rusia tiga tahun lalu. Komentar Trump bahwa Zelensky 'berpakaian rapi' adalah upaya microaggression yang menunjukkan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang."
Sementara itu, sekutu Eropa Ukraina bergegas memberikan dukungan mereka kepada Kyiv. Kepala kebijakan luar negeri Eropa Kaja Kallas menyatakan Eropa akan meningkatkan dukungannya untuk Ukraina "agar mereka dapat terus melawan agresor." Dalam teguran tidak langsung kepada Trump, dia menambahkan: "Hari ini, menjadi jelas bahwa dunia bebas membutuhkan pemimpin baru. Terserah kita, orang Eropa, untuk mengambil tantangan ini."
Presiden Prancis, Emanuel Macron, juga menegaskan: "Rusia adalah agresor, dan Ukraina adalah rakyat yang diserang... Ini adalah hal-hal sederhana, tetapi baik untuk diingat pada saat-saat seperti ini."