Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pelajar, Belajar dan Mengajar. Duduk, Lihat, Dengar, Berpikir, Analisis dan Bicara. #Nulisaja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkara Beras di Teras

1 Maret 2024   00:01 Diperbarui: 1 Maret 2024   00:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.com/enuon898/

Di tahun 2010, saya sering menggerutu tentang kebiasaan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa ketika harga beras naik. Saya merasakan bahwa mereka yang berdemonstrasi terlalu manja karena selalu mengkritik kenaikan harga beras yang menurut saya  hanya berbeda 1000 atau 2000 perak. 

Ketika saya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pun, saya masih bersikap sinis atas kebiasaan berdemonstrasi para mahasiswa Kupang di depan Gerbang DPRD Provinsi NTT atau bahkan di alun-alun Kantor Gubernur. 

Saya berpikir "apa yang sebenarnya mereka cari? Pendidikan atau eksistensi sebagai mahasiswa aktivis? Perkara 1000 - 2000 perak kan tinggal dihemat dari uang jajan mereka."

Tanpa sadar, saya telah membuat diri saya menjadi orang asing bagi "rakyat", hingga seorang teman mengkritik cara pandang saya ketika kami berdebat tentang naiknya harga beras di teras rumah saya sendiri.

"Kamu mengatakan seperti itu (kritik terhadap demosntrasi mahasiswa) karena saat ini kamu hidup di dalam asrama, bertembokan segala fasilitas yang disediakan negara. Kalau tembok itu sudah hancur dan kamu sudah berjalan keluar, maka kamu akan melihat semua kesusahan yang tersembunyi dari balik tembok tersebut."

Saya terdiam, bukan berarti langsung mengaminkan perkataan teman saya, tetapi saya memikirkan sebuah kemungkinan. Apakah saya memiliki pandangan yang sama dengannya jika saya telah melewati "tembok" itu?

7 Tahun kemudian, saya merantau ke ibukota untuk melanjutkan studi. Hanya di ibukota saya melihat bagaimana dengan segala upaya dan cara para orang tua berusaha membawa makanan ke atas meja makan untuk anak-anaknya, entah itu harus mengemis atau bahkan memaki demi sesuap nasi. Gedung-gedung pencakar langit juga seolah menegaskan adanya kasta sosial-ekonomi yang begitu jauh antara sesama rakyat Indonesia. 

Ditambah lagi dengan kenaikan harga beras, membuat rakyat harus mengisi sebagian lambungnya dengan angin atau harapan akan makan siang gratis, itu pun kalau bisa bersekolah untuk mendapatkannya. Alih-alih memberikan makan siang gratis, ada kebijakan yang lebih radikal dan berani, yakni menurunkan semua harga bahan pokok, mengembalikan kearifan pangan lokal yang sesuai dengan iklim wilayah, serta mengembangkan teknologi pertanian dan pemanfaatan pangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun