Total 24 bangunan gereja dinyatakan tak berizin, 1 bangunan gereja dibakar oleh massa dan lebih mencengangkan lagi satuan polisi pamong praja (satpol PP) turut merobohkan 9 bangunan gereja, seolah-olah negara turut berpartisipasi dalam tindakan intoleransi di Aceh Singkil.
Ya, bagi umat Kristiani, gereja bukanlah gedung dan menara melainkan orang-orang di dalamnya. Tetapi gereja dan tempat ibadah lainnya bagi negara adalah martabat sebagai negara yang berdaulat. Berdaulat dalam mengatur warganya, berdaulat dalam melindungi rakyatnya dan berdaulat dalam menjadikan Pancasila sebagai dasar Tunggal negara ini.
Media massa sekelas BBC News Indonesia juga memposting hasil wawancara dengan para korban intoleransi di Aceh Singkil yang membuat warganet membanjiri kolom komentar di akun Facebook BBC News Indonesia, beberapa merasa prihatin dan beberapa orang memberikan kata-kata penguatan iman, tetapi ada pula yang tidak mempermasalahkan tindakan tersebut karena menurut mereka sudah sesuai peraturan.
Saya bingung, mengapa ada yang berkomentar kalau tindakan pembongkaran bangunan gereja tidak menyalahi peraturan padahal secara jelas mengganggu kebebasan beribadah umat beragama. Tetapi setelah membaca seperti apa pemerintah daerah di provinsi Aceh, ternyata saya sudah salah mengira (mohon maaf sebelumnya🙏).
Provinsi Aceh merupakan daerah istimewa karena memiliki otonomi dalam menjalankan perda sesuai syariat Islam jadi SETARA Institute dan kita tidak bisa memaksakan daerah tersebut untuk bersikap layaknya daerah lain di Indonesia.
Dalam hal ini kita akan terlihat bodoh jika ingin memaksakannya, tetapi ini ironi bagi NKRI di mana hukum yang ditetapkan tidak berlaku di daerah tertentu seperti Aceh. Jika demikian adanya kita sedang berjalan ke dalam pelukan Negara Federasi dengan nyanyian Negara Kesatuan.