Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Mediator Urusan Sulit

Akun kedua di Kompasiana. Akun pertama sejak centang biru dihilangkan jadi ga bisa diakses. Perempuan biasa yang demen menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dahsyatnya Film "Asimetris" Menggambarkan Perusakan Alam Demi Cuan Sawit

20 Oktober 2023   17:50 Diperbarui: 21 Oktober 2023   11:06 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 2018 saat sedang seru-serunya mengikuti kegiatan beberapa komunitas, muncul suatu notifikasi di FB seorang pengurus komunitas -- akan ada pemutaran film dokumenter Asimetris di cafe XX yang sekaligus dijadikan tempat pendidikan Barista. Great, sepertinya seru menonton film yang sedang diperbincangkan sekaligus menikmati suasana cafe.

Jadilah pada hari H, saya menuju lokasi dengan naik ojol. Demi mendekati venue, hati mulai was-was ternyata berada di kawasan perumahan padat banget. Jegrek, ojol berhenti sesuai titik tujuan dan pengemudi berbaik hati turun untuk konfirmasi. Ternyata benar, jadilah saya masuk ke cafe tanpa jendela itu. Berasal dari ruang garasi yang difungsikan sebagai cafe. Pintunya merupakan pintu lipat dari lempengan besi tebal. Berkenalan dengan hadirin lain yang mayoritas terdiri dari lelaki muda dengan tampilan serba santai dan rambut awut-awutan, kok tidak ada yang dari komunitas itu. Akhirnya saya menemukan satu hadirin perempuan lagi, sementara itu penyelenggara menjelaskan bahwa mereka meminta bantuan teman-temannya untuk mengabarkan event ini. Hmm pantas, tak ada yang kukenal.

Segelas besar es coffee Americano disajikan yang segera kuteguk. Airnya yang dingin meluncur membasuh tenggorokan dan menjadi semacam gerimis yang menenangkan hati. Saya akhirnya bisa relaks menyenderkan tubuh di sofa bambu. Penyelenggara menyampaikan sepatah kata membuka acara yang segera dilanjutkan dengan pemutaran film. Sebelumnya pintu dari lempengan besi tebal ditutup dan aku mulai khawatir, bagaimana jika terjadi kebakaran? Padahal tidak punya penyakit klaustrophobia namun saat itu jantungku berdebar kencang.

Ketika film mulai diputar, pesonanya begitu menghisap kalbu. Aku lupa dengan segala kecemasan akan ruang yang tertutup besi. Film yang meliput secara comprehensive ekspansi sawit. Diawali dengan adegan dari kesibukan tengah kota di Eropa, tentang kosmetik, sabun mandi bahkan bahan  biofuel yang ternyata semua terbuat dari sawit. Dan aku baru tahu dari film itu, sebelumnya kupikir sawit hanya dipergunakan untuk minyak goreng.

Kemudian film beranjak pada pembuatan perkebunan sawit, berawal dari penebangan pohon-pohon di hutan yang sebenarnya tata caranya sudah diatur sesuai dengan perizinan yang berlaku. Namun penebangan seperti itu memakan waktu dan biaya, makanya para pengusaha sawit memilih untuk membakar saja.Tentunya ini yang jadi penyebab pencemaran lingkungan.


Usai hutan dibakar, dilanjutkan dengan proses penanaman kelapa sawit. Dikerjakan oleh  para petani sekitar sejak hari masih gelap. Wanita-wanita terbangun pk 2 pagi dan bergegas ke perkebunan demi upah yang tidak seberapa.

Asimetris menyentuh hati dengan mencerita nasib masyarakat Kalimantan yang menderita atas emisi asap dari pembakaran hutan dan gambut tahun 2015. Pada bulan Oktober 2015, kadar polusi di Palangkaraya mencapai 1.300 persen dari ambang kualitas udara yang sehat bagi manusia. 19 orang meninggal akibat polusi kabut asap, dan setengah juta warga Indonesia mengalami infeksi saluran pernapasan. Asimetris juga cerita bagaimana petani kecil kehilangan sumber kehidupan.

Ironisnya yang menikmati hasil dari sawit itu hanya 25 perusahaan sawit terbesar di Indonesia, 15 pemilik diantaranya termasuk daftar Forbes orang yang terkaya di seluruh dunia. Mereka memiliki lahan sebesar pulau Jawa atau lebih.

Usai pemutaran film itu, saya jadi lebih perhatian pada isu lingkungan hidup. Mulai dari  menjaga lahan di rumah agar tetap menjadi tempat tanaman tumbuh dan tidak mendirikan bangunan-bangunan komersial seperti para tetangga. Ini cukup berat karena angkanya begitu menggoda. Bagaimana tidak, rerata luas halaman rumah di kompleks yang berada di Jakarta Selatan itu 400 -- 800 m2. Bangunan rumah 100 -- 125 m2 maka sisa lahan yang ada umumnya dibangun petakan kantor yang disewakan sekita Rp. 50 juta/ tahun/ petak. Satu rumah bisa memiliki 4 unit petakan kantor, jadi income/ tahun para tetangga dari penyewaan ruang kantor bisa mencapai Rp. 200 juta/ tahun.

Menerapkan green living di seluruh aspek kehidupan - dari yang menghindari pemakaian plastik sebisa mungkin, mempergunakan langkah kaki untuk mencapai tempat tujuan demi meminimalisir polusi akibat pemakaian kendaraan. Bahkan konsumsi makananpun diperhitungkan agar tidak ada waste/ sisa yang mubasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun