Mohon tunggu...
Dewi Lestari
Dewi Lestari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Sudah di Bogor, sementara akan jadi pembaca setia kompasiana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sensasi Pasir Merica Pantai Kuta Lombok

13 Januari 2010   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_53083" align="alignnone" width="300" caption="Pantai Kuta. Foto Dok. pribadi"][/caption] [caption id="attachment_53082" align="alignnone" width="300" caption="Menanti Ayah Pulang.."][/caption] [caption id="attachment_53078" align="alignnone" width="300" caption="Pasir Merica atau Ketumbar ? Foto dok.pribadi"][/caption] Di hari keduaku di Lombok, aku memutuskan untuk mengeksplor pantai di Lombok Tengah. Menurut kabar, pantai di sini lebih alami. Sebelumnya, kami, aku bersama tukang ojek, mampir dulu ke Taman Narmada dan Bendungan Batujai. Beberapa kilometer dari pusat kota Praya, kami melewati pasar Sengkol dan di sinilah terakhir kulihat ada angkot. Selama perjalanan sebelumnya, bemo, sebutan angkot di sini, adalah jenis yang jarang sekali kutemui. Hemm, untung aku memutuskan tidak naik angkot. Jika ya, tentu aku tidak akan sampai ke pantai Kuta, Tanjung, Mawun atau pun Lesong Blanak yang semuanya terletak di belahan selatan Lombok. Dalam perjalanan ke Kuta ini, kami melewati lahan luas yang sedang dalam pembangunan. Rencananya, akan dibangun dibangun bandara internasional di sini. Hmm, semoga jika bandara telah dioperasionalkan, public transport di wilayah ini bisa dibenahi. Sayang dong, pantainya cantik-cantik tapi tidak bisa diakses dengan harga terjangkau. Di wilayah ini kami menemui banyak kerbau yang digembalakan. Menjelang Kuta, perbukitan mulai tampak. Sebelum mencapai Kuta, kami melewati 3 pemukiman/perkambungan Sasak. Pertama, adalah perkampungan Sade - Kerambitan yang terkenal dan sering mendapatkan kunjungan dari wisatawan domestik maupun wisman. Kedua, perkampungan yang tidak ada papan namanya. Ketiga adalah perkampungan di bawah bukit yang berlabelkan Sasak Village. Oke, kami akan mampir, tapi nanti setelah dari Kuta, demikian putusku. Melewati Sade, perbukitan semakin rapat oleh vegetasi. Hawa adem pun mulai terasa. Beberapa kilo meter menjelang Kuta, jalan tampak meningkat kualitasnya. Hotmix ni.. Hmm, sepertinya kawasan ini memang mulai ditata untuk kawasan wisata. Beberapa hotel mulai tampak. Dan sama seperti wilayah lain, maka banyak papan penawaran tanah di kawasan ini. Beberapa diantaranya dijual dalam bentuk kaplingan. Masuk ke pinggir pantai, berjajarlah rumah-rumah ala Sasak di sepanjang pantai. Warung-warung, travel, dan sebagainya, seperti yang ada di Senggigi pun mulai tampak di sini. Pak Is tidak mau berhenti di sini. Sepertinya dia tahu, bahwa sering terjadi pemaksaan oleh pedagang asongan terhadap wisatawan di sini (Banyak blogger yang mengeluhkan hal ini). Dia pun membawaku terus bergerak ke timur, menjauhi kawasan padat pondok tersebut. Di tempat yang sepi, sebelum Novotel Hotel, berhentilah dia. Langsung kulemparkan pandang dari barat ke timur, wow…. what a nice view… Subhanallah.. ciptaan-Mu memang keren buangettt!! Di sebuah gubug, kami menemukan dua orang anak Sasak. Mereka berbaring dengan alas tikar, sambil mata mengarah ke laut. Tak ada percakapan di antara mereka. Yang ada ada suara penyanyi India yang mengalun dari radio yang dipegang si kakak. Pak Is mendekati dan bertanya pada mereka. Ternyata, mereka menunggu ayahnya yang sedang melaut, memanen rumput laut. Gubuk itu sangat sederhana, sepertinya memang bukan rumah tinggal, namun hanya tempat peristirahatan. Tampak jaring dengan berbagai lebar mata jaring tergantung di tiang gubuk. Melihat dua anak itu, aku jadi teringat pada Lintang dan adik-adiknya pada sebuah scene di film Laskar Pelangi. Menanti kedatangan ayahnya dari laut dalam ketidakpastian. Huiks, sedih. Di bagian barat pantai tampak sebuah bukit panjang. Di sinilah biasanya penduduk setempat mengumpulkan nyale, cacing laut, yang dipercaya merupakan penjelmaan dari Putri Mandalika. Biasanya peristiwa terjadi di awal tahun. Beranjak ke belakang gubuk, aku melihat rumput laut yang sedang dikeringkan. Jika masih basah, rumput laut tersebut berwarna merah. Rumput laut inilah digunakan sebagai bahan baku agar-agar. Penduduk lokal mengolahnya menjadi dodol. Berbeda dengan dodol dari Garut, Jawa maupun daerah lain, maka dodol rumput laut ini tampak bening, dengan warna sesuai rasa. Teksturnya seperti agar-agar namun lebih kenyal. Meskipun namanya dodol, namun ia tak terlalu manis, bahkan bisa dikatakan tak manis sama sekali. Oya, satu yang ingin kutambahkan dari pantai ini adalah, pasirnya tidak seperti pasir di pantai lain yang halus dan padat. Pasir pantai Kuta bulat-bulat seperti ketumbar. Masyarakat setempat biasa menyebutnya pasir merica. Jika diinjak lama, kita akan tersedot ke dalamnya, bagaikan pasir hisap.. hehehe. Ketika senja menjelang, aku pun meninggalkan pantai ini dengan oleh-oleh pengalaman tersedot pasir hisap.. Mau ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun