Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perkara Buhul

3 Juli 2016   23:32 Diperbarui: 3 Juli 2016   23:45 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia sempat berganti panggilan menjadi Ilham, Rafli, Sepi, dan sebagainya. Namun, tujuh hari kemarin ia memperkenalkan diri kepada Bini saya dengan nama aslinya. Bini saya tak berhenti bertanya mengapa lelaki dengan harum apel itu tak menggunakan nama panggilan baru saja kepadanya. Saya menebak, “mungkin itu nama membawa keberuntungan, dan siapa paham pula kini ia bertambah gila karena menganggap dirinya keturunan raja. Ah. Dapatlah kau tangkap maksudku, sayang, misal kau melihat tanda pengenalnya, dan menyadari ada angka romawi di belakang namanya.”

*****

Dengan kehadiran Jumahi di hari ke-tujuh ini, saya dan bini tidak membahas namanya lebih jauh lagi. Tak lagi dihiraukan kesedihan tentang rasanya memiliki nama itu. Saya pribadi prihatin pada isi kepalanya, (meski lebih kurang ajarnya lagi, tentu saja, saya jauh lebih penasaran mimpi hewan apalagi yang ia bawa ke rumah saya di hari-hari berikutnya).

Bini saya mengintip dari ruang tengah. Ia yang sedikit kolot dalam berpikir, memberi isyarat tanda silang di keningnya. Malam tadi, ia memang membicarakan Jumahi di atas ranjang. Bukankah hidup Jumahi aman dan tentram, Bang? Jangan-jangan ia berlaku kasar, jangan-jangan ia menolak cinta seseorang, jangan-jangan ada yang menyimpan dendam. Menurutku, ia sudah diikat dengan Buhul, Bang. Pertemukan ia dengan orang pintar, Bang, Bapak ada kenalan. Nanti, ajak berbincang di teras saja kalau-kalau Jumahi kalap dan marah. Orang kacau. Siapa paham kapan waktu mengamuknya, kan? 

Saya yang agak cemas dengan jangan-jangan lain tak tega pula akhirnya. Kesimpulan Jumahi dikenai santet turut lahir dalam pikiran.

“Saya disidang nenek moyang saya, Jang.” Ujarnya, mengembalikan perhatian, menahan pertanyaan saya dalam diam. “Jumahi I, II, sampai V.” Lanjutnya.

Aneh nian Jumahi yang sekarang. Karena satu-satunya yang membuat saya sadar akan mimpi-mimpi tak masuk akal itu adalah perkara Jumahi yang tak doyan perempuan. Atau, ia memang ingin seperti saya; membalik haluan namun tak sampai ke batinnya jua? Duh. Tentu lelah ia terkait maraknya penolakan LGBT dimana-mana. Duh. Orang “sehat” saja bingung berdiri di mana. Membela LGBT atas nama kemanusiaan, melawannya pun atas nama keagamaan. Bayangkan dimana posisi yang jadi bahan perdebatan.

“Jadi, apa yang diinginkan nenek moyangmu itu?” Saya balik bertanya.

“Mereka meminta saya kawin, Jang.”

“Dengan siapa?”

“Binatang, binatang, ya, itu....”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun