Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Bukan Hanya Soal 'Mengerti'

10 Mei 2015   14:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Satu hal yang selalu ditakuti siswa saat belajar bahasa Inggris adalah grammar. Pembelajar bahasa Inggris cukup disulitkan dengan kedudukan bahasa sebagai bahasa asing dan juga ketentuan yang ada di dalamnya. Akhirnya, mereka akan mengambil jam pelajaran tambahan di luar untuk memperdalam kemampuan lisan maupun tertulisnya. Bahkan mereka yang sudah mengeluarkan banyak uang, tenaga dan waktu masih saja tidak cakap menggunakan bahasa. Seandainya saja guru mereka di sekolah bisa mengajarkan bahasa sebagaimana mestinya. Ya, bahasa sebagai alat komunikasi.

Buku menjadi sumber belajar utama dari para siswa, entah itu terbitan pemerintah maupun penerbit swasta. Sekilas, buku tersebut tampak begitu menarik dengan warna warni tulisan beserta gambar yang mendukung. Oh, apalagi di kurikulum 2013, sebagian besar isi buku berupa gambar dan percakapan antar beberapa orang. Sayangnya, kualitas buku yang ada selama ini masih memiliki beberapa kekurangan, seperti conversation yang tidak mengedepankan makna tersurat bagi siswa.

Ternyata materi pelajaran sangat mempengaruhi karakter siswa ke depannya. Misalnya saja, ketika mengajarkan materi advertisement menggunakan iklan sebuah pusat perbelanjaan, makna yang terkandung di dalamnya adalah secara tidak langsung mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi konsumtif. Apalagi di dalam sebuah iklan seperti itu dimunculkan pula berbagai discount yagn tentunya akan menarik perhatian para siswa.

Kemudian, selama ini materi procedure yang ditemukan pada sebagian besar buku seringkali membahas tentang resep masakan dan cara membuat sesuatu. Padahal ada banyak hal yang bisa di-eksplore siswa yang sebenarnya hal tersebut berupa procedural text. Bukankah teks seperti 'How to Heal Acne', '4 Ways to Clean Suede Shoes' dan 'How to Treat Open Wound' juga merupakan seruntutan langkah yang memenuhi persyaratan teks prosedur? Goal, material and step.

Kembali pada fungsi dasar bahasa, yakni alat komunikasi, selama ini siswa seperti mendapatkan treatment untuk mempelajari apa yang dulunya dipelajari oleh guru. Pengajar lupa bahwa dulu dan sekarang sangatlah berbeda dan sangat disayangkan sekali bahwa mereka lupa jika ilmu pengetahuan selalu berubah, termasuk bahasa. Mungkin dahulu mereka mendapatkan old theory dan lupa tidak memperbaruinya.

Lihat saja teks narrative di buku-buku panduan, ada banyak sekali teks yang berlatar belakang Negara Barat; Inggris, Belanda, Swiss, Amerika dan masih banyak lainnya. Lalu bagaimana jika anak-anak diminta bercerita asal-usul kota tempat kelahirannya? Justru hal seperti inilah yang perlu dibangun. Local wisdom perlu dihadirkan dalam pengajaran bahasa.

Sayang, masih ada pertanyaan muncul tentang istilah bahasa daerah yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Misalnya, nama ritual dalam budaya Jawa dan beberapa istilah adat di bahasa daerah lain. Nah, di sini pengajar bahasa perlu memahami bahwa ketika bahasa dipelajari, tentunya kita juga harus mempelajari budayanya. Artinya, ada beberapa istilah yang memang tidak dapat dipadankan oleh bahasa Inggris.

Selanjutnya, perihal percakapan, teks yang ditulis di dalam buku ternyata bukan utterance yang kerap diucap oleh penutur asli (native speaker). Seorang dosen pernah memperlihatkan buku teks siswa kepada penutur asli. Dan reaksinya? Si native malah tertawa membaca isi percakapan di buku tersebut. Nah, satu masalah ditemukan lagi. Ternyata mahir berbahasa Inggris pun tidak cukup membuat sesorang pandai bercakap-cakap. Contoh sederhana, masih banyak anak yang ketika meminta ijin ke kamar kecil menggunakan kalimat 'Sir/Ma'am, may I go to the toilet?'. Sementara dalam bahasa aslinya, kita cukup mengatakan 'Sir/Ma'am, May I be excused?'.

Hal-hal seperti inilah yang perlu diajarkan kepada siswa. Bukannya menitikberatkan pada tata bahasa saja. Sayang, tidak semua pengajar memahaminya. Sulit? Jelas sulit, terlebih hanya orang-orang tertentu yang mengerti penggunaan bahasa sesuai penutur asli. Namun setidaknya pengajar bahasa harus mampu mengikuti perubahan yang ada. Satu lagi, setidaknya penyusun buku bukanlah orang yang tidak cakap memahami penggunaan bahasa asing. Ketika kita ingin menguasai bahasa asing, memang sudah sepatutnya kita dituntut untuk semirip mungkin. Bukan hanya pelafalan, intonasi dan ejaan, melainkan juga penyampaian makna yang terkandung di setiap kalimat.

Memang, kedudukan sebuah bahasa di satu Negara sangat mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk menggunakannya. Indonesia mengambil posisi foreign language untuk bahasa Inggris. Itu artinya, orang-orang di sini menggunakan bahasa di saat tertentu dan bahkan hanya kalangan tertentu yang menggunakan. Sementara kita telah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Siapkah kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun