Saat Kopi di Jakarta Lebih "Mahal" daripada di New York
Sebuah Refleksi tentang Gaya Hidup, Daya Beli, dan Prioritas Kita
Beberapa hari lalu, saya membaca artikel menarik di Kompas.id berjudul "Saat Kopi di Jakarta Lebih Mahal daripada di New York". Judulnya memang menggelitik. Bagaimana mungkin secangkir kopi di Jakarta---dengan harga sekitar Rp30 ribuan---disebut lebih mahal ketimbang kopi di kota metropolitan sekelas New York?
Ternyata bukan soal nominal rupiah semata, tapi karena dihitung berdasarkan rasio harga terhadap daya beli masyarakat lokal. Di New York, pendapatan warga jauh lebih tinggi dibandingkan di Jakarta. Maka, meskipun harga kopinya secara nominal lebih mahal, beban terhadap pendapatan harian justru lebih ringan. Sebaliknya, bagi warga Jakarta yang rata-rata bergaji Rp5--8 juta per bulan, membeli secangkir kopi seharga Rp34.000 bisa menyedot sekitar 12% dari penghasilan harian mereka. Bandingkan dengan warga New York yang hanya menghabiskan sekitar 3,5% untuk secangkir kopi yang sama.
Ironis, bukan?
Namun yang lebih menarik, fenomena ini bukan hanya soal kopi. Ia mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: gaya hidup baru yang kini mewabah di kota-kota besar Indonesia, terutama Jakarta. Gaya hidup yang menjadikan "nongkrong di kafe" sebagai kebutuhan nyaris primer, bahkan dalam beberapa kasus, melebihi kebutuhan pokok seperti belanja dapur, listrik, atau pendidikan anak.
Saya tidak sedang menghakimi mereka yang suka nongkrong---karena saya pun sesekali menikmati suasana coffee shop sambil menulis. Tapi mari kita jujur pada diri sendiri: benarkah kita membutuhkannya sebanyak itu? Atau, jangan-jangan, ini adalah bagian dari tekanan sosial untuk selalu terlihat "punya kelas", "punya gaya", atau minimal "punya eksistensi" di media sosial?
Seorang penulis di Kompas.id, Lynda Ibrahim, menyoroti bahwa gaya hidup konsumtif ini juga didorong oleh budaya komunal. Ada semacam tekanan tak kasatmata untuk "ikut-ikutan" nongkrong, memakai produk skincare mahal, atau staycation tiap akhir pekan---meski kondisi keuangan sebenarnya belum memungkinkan. Banyak dari kita bahkan rela menekan anggaran makan di rumah, asal tetap bisa memesan latte dan duduk beberapa jam di ruangan ber-AC dengan colokan.
Data pun mendukung kegelisahan ini. Jakarta termasuk kota termahal di Asia-Pasifik dari segi biaya hidup, sementara daya beli warganya masih rendah. Indeks ketimpangan (Gini Ratio) mencapai 0,43---tertinggi di Indonesia. Artinya, jarak antara si kaya dan si pas-pasan makin lebar. Tapi semua tampak seragam di Instagram: semua terlihat "baik-baik saja".
Fenomena ini tentu perlu direnungkan bersama. Pemerintah dapat mengambil bagian dengan memperbanyak ruang publik gratis yang nyaman: taman, co-working space, ruang baca, dan fasilitas komunitas yang tidak mewajibkan belanja demi kenyamanan. Tapi masyarakat juga harus berani menata ulang prioritas. Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apa benar saya butuh kopi Rp50.000 itu, atau saya hanya takut tidak terlihat "up to date"?