Di sudut kota Jakarta, di antara hiruk pikuk zaman yang mulai menggeliat, sebuah cahaya lahir dari mimbar subuh. Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru menjadi saksi, ketika seorang ulama dengan suara teduh dan penuh hikmah mengalirkan tafsir Al-Qur'an kepada jamaah. Setiap kata bukan sekadar penjelasan, melainkan getaran hati yang menghidupkan ayat demi ayat. Dari sanalah benih Tafsir al-Azhar mulai tumbuh---bukan di ruang akademik yang kaku, melainkan di tengah denyut kehidupan masyarakat yang haus akan pencerahan.
Namun takdir Allah menuntun perjalanan itu ke jalan yang tak pernah diduga. Tahun 1964, Hamka harus melewati ujian berat: jeruji besi Sukabumi menjadi teman setianya. Di dalam kesunyian penjara, di tengah keterbatasan yang mencekam, justru lahirlah kekuatan intelektual yang tak terbendung. Malam-malam panjang ditemani Al-Qur'an, siang-siang sepi ditemani pena. Dalam ruang pengap itu, Tafsir al-Azhar diselesaikan dengan kesungguhan hati, seakan Hamka sedang berbicara langsung dengan umatnya di luar sana.
Tiap lembar tafsir menjadi bukti, bahwa cahaya Al-Qur'an tak pernah padam meski ditempa penderitaan. Dari balik dinding besi dan kesepian, Hamka menunjukkan: kebebasan sejati bukanlah sekadar di luar penjara, melainkan di dalam jiwa yang senantiasa bernaung dalam dekapan Al-Qur'an.
-Dalam Dekapan Al-Quran, Dedy Rizaldi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI