Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Halangan Nikah Hubungan Semenda (Affinitas) Menurut Kanon 1092 KHK 1983

7 Juli 2020   11:44 Diperbarui: 7 Juli 2020   11:52 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1. Pengantar

Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami dan istri. Perkawinan terutama menunjukkan sepasang laki-laki dan perempuan yang mau menghayati hidup bersama-sama.[1]  Mereka yang akan melangsungkan perkawinan perlu menyiapkan diri dengan baik. Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen, sebagaimana di jelaskan dalam kanon 1055, 1:

Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang meneurut sifat kodratnya terarah pada kebaikan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Ketetapan kanon ini hendak menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan dalam Gereja Katolik adalah sebuah kontrak yang sah dan sakramen, dan tujuan perkawinan. Perkawinan didirikan melalui kehendak orang yang sanggup menetapkan kehendak ini. Hanya mempelai yang tidak dihalangi dengan larangan dan halangan bisa mendirikan perkawinan dengan kehendaknya.[2]

Halangan yang menggagalkan perkawinan dibedakan menjadi dua yaitu, halangan-halangan pada umumnya (kanon 1073-1082) dan halangan-halangan pada khususnya (kanon 1083-1094).[3]    Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai halangan-halangan yang menggagalkan perkawinan pada khususnya, secara spesifik yaitu halangan karena hubungan semenda (affinitas). 

2. Pengertian Hubungan Semenda atau Affinitas

Semenda adalah pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota suatu kaum, jika dipandang dari kaum itu (misalnya orang yang kawin dengan saudara atau kemenakan istri atau suami).[4]  

Terkait dengan hubungan semenda, Kanon 109 - 1, kodeks 1983 menuliskan arti hubungan semenda atau affinitas demikian: "Hubungan semenda (affinitas) timbul dari perkawinan yang sah, walaupun tidak consumatum, dan berlaku antara suami dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya, demikian juga antara istri dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya".

Kanon 109 - 2, kodeks 1983 lebih lanjut menjelaskan demikian: "Hubungan semenda dihitung demikian sehingga orang yang mempunyai hubungan darah dengan suami merupakan keluarga semenda istri dalam garis dan tingkat yang sama, dan sebaliknya".

Dari isi kanon tersebut dapat dimengerti bahwa hubungan semenda atau affinitas ialah hubungan yang timbul atau yang terjadi akibat perkawinan yang sah. Akibat pernikahan, si suami memiliki hubungan semenda dengan orang yang memiliki hubungan darah dengan istrinya dan begitu juga sebaliknya. Hubungan tersebut ialah hubungan persaudaraan. Si suami memiliki hubungan persaudaraan dengan saudara-saudari istrinya begitu juga sebaliknya si istri dengan saudara-saudari suaminya, baik dalam garis lurus maupun menyamping.[5]

Sama halnya dengan hubungan darah (consanguinity), hubungan semenda dihitung dalam garis dan tingkatannya. Orang yang mempunyai hubungan darah dengan suami merupakan keluarga semenda istri dalam garis dan tingkat yang sama, dan sebaliknya (Kan. 109 - 2). Dengan demikian, si suami memiliki hubungan darah garis lurus tingkat pertama dengan ibu istrinya (mertuanya) dan si istri memiliki hubungan darah menyamping tingkat kedua dengan saudara suaminya.[6]

Dikatakan walaupun tidak consumatum hubungan semenda tersebut tetap terjadi karena pernikahannya sah atau sudah ratum. Ratum artinya telah diratifikasi atau ditandatangani atau pernikahannya telah disahkan di atas kertas nikah dan dicatat dalam akte nikah. Pernikahan yang demikian, yang meskipun masih ratum dan belum consumatum, adalah sah menurut kanonik.

3. Yang Menjadi Halangan

Semenda berarti pertalian kekeluargaan karena perkawinan dengan anggota suatu keluarga, jika dipandang dari keluarga itu. Semenda (affinitas) berdasarkan perkawinan yang sah antara suami dengan persaudaraan darah istri, atau dengan persaudaraan darah suaminya. Tingkat dan garis persaudaraan darah adalah tingkat dan garis persaudaraan ipar untuk suami/istri. Perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan semenda (ipar) garis lurus terhalang oleh hubungan darah tersebut.[7]  

Terkait dengan halangan perkawinan karena hubungan semenda (affinitas), kanon 1092 kodeks 1983 menuliskan demikian: "Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun". 

Dari isi kanon tersebut dapat dimengerti bahwa yang menjadi halangan nikah dalam hubungan ini ialah hubungan garis lurus di semua tingkat. Landasan kanon ini pada dasarnya didasarkan pada fakta bahwa hubungan perkawinan tidak hanya bergabung dengan pasangan sebagai individu, tetapi juga memperkenalkan masing-masing pasangan ke dalam keluarga yang lain. 

Oleh karena itu tidak terkait dengan prokreasi, tetapi pada prinsipnya terkait dengan konjugitas, khususnya dengan kondisi sebagai pasangan. Hal ini diperkuat dengan dua alasan berikut: pertama terletak pada kenyataan bahwa hubungan dalam kehidupan keluarga adalah spesifik dan berbeda dari hubungan perkawinan. 

Kedua adalah bahwa inklusi dalam suatu keluarga mengasumsikan penggabungan ke dalam suatu sistem hubungan yang terjalin di antara para anggotanya, yang dibentuk dengan saling berpartisipasi dalam keintiman dalam suasana kealamian dan kepercayaan.[8] Misalnya, mertua dengan menantu, anak tiri dengan ibu tiri. Untuk hubungan darah garis menyamping (ipar) kodeks tidak menyatakannya sebagai halangan. Misalnya kakak dengan adik ipar. 

Dalam kodeks 1917 yang menjadi halangan yang menggagalkan kaitannya dengan hubungan semenda ialah garis lurus dalam semua tingkat dan garis menyamping tingkat IV.  Oleh sebab itu, jika suami perempuan meninggal, ia terhalang untuk menikah dengan saudara suaminya atau pun sepupu pertama suaminya.[9]

4. Yang Hendak Dibela

Kanon 109 - 2 kodeks 1983 menuliskan demikian: "Hubungan semenda dihitung demikian sehingga orang yang mempunyai hubungan darah dengan suami merupakan keluarga semenda istri dalam garis dan tingkat yang sama, dan sebaliknya".

Pernikahan semenda membuat si suami memiliki hubungan persaudaraan dengan keluarga istrinya, dan begitu pula sebaliknya. Perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan semenda dilarang oleh Gereja, sebagaimana dirumuskan dalam kanon 1092. 

Tujuan dari kanon ini adalah untuk mempertahankan iklim keluarga, untuk menghindari kondisi kedekatan tertentu dan partisipasi bersama yang digunakan untuk mempromosikan perilaku menyimpang di antara anggota keluarga yang mungkin cenderung mengarah pada kemungkinan pernikahan di masa depan. Oleh karena itu, halangan semenda ini hendak menjamin hubungan persaudaraan tersebut agar tetap terbina dalam suatu kekeluargaan yang baik.[10]  

5. Boleh Didispensasi

Halangan nikah hubungan semenda atau affinitas merupakan halangan bersifat gerejawi, dan mengikat semua orang Katolik.[11] Oleh sebab itu halangan ini bisa didispensasi oleh otoritas yang berwenang sesuai dengan norma hukum.[12] Selain itu, halangan ini hanya berpengaruh atau terkena kepada pernikahan yang sah secara Katolik dan hanya untuk orang Katolik. Halangan ini tidak kena kepada pernikahan yang non-Katolik, entah itu yang terbaptis maupun yang tidak terbaptis. Halangan ini juga tidak terkena kepada orang Katolik yang telah meninggalkan Gereja secara resmi.[13]

Berbeda dengan aturan kodeks, UURI no. 1 tentang perkawinan, pasal 8 menyatakan bahwa hubungan semenda sebagai halangan nikah.[14]

Daftar Kepustakaan

Beal, John P. - James A. Coriden - Thomas J. Green (ed.). New Commentary on the Code of Canon Law. New York: Paulist Press, 2000.

Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici). Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta KWI, 2016.

Knigsmann, Josef.  Pedoman Hukum Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 1987.

Marzoa, ngel - Jorge Miras - Rafael Rodrigues Ocan (ed.). Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, vol III/2. Chicago: Midwest Theological Forum, 2004.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1976

Rubiyatmoko, Robertus. Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Toto Pujiwahyulistyanto, St. Reksa Pastoral dan Hal-hal yang Harus Mendahului Peneguhan Perkawinan. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]. (Diktat).  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun